Jumat, 18 September 2015

PRESIDEN JOKOWI DAN HANCURNYA PERTANIAN MASA DEPAN



Lama tak menulis, membuat fikiranku jadi beku, tumpul bahkan mendekati idiot. Lama berfikir tentang tema tulisan, akhirnya saya putuskan untuk menulis konsep pertanian Jokowi dan dampaknya bagi pertanian masa depan. Saya sudah yakin dari awal bahwa pertanian di tangan Jokowi akan mempercepat kehancuran. Kesadaran ini lahir ketika Jokowi menghianati konsep kedaulatan pangan yang diusung sendiri kemudian dengan entengnya dia campakkan sendiri.

Ulasan ini berdasarkan pernyataan Jokowi di media. Media yang saya pilih adalah media yang sedari awal saya duga sangat “mesra” dengan Jokowi. Ulasan pertama ini adalah berita yang diterbitkan oleh detik.com http://finance.detik.com/read/2015/05/10/172658/2911113/4/jokowi-ingin-merauke-jadi-pusat-pertanian-modern-pertama-di-ri. Pernyataan di media inilah yang menjadi dasar kritikan tulisan ini, membongkar motif dan skema pertanian Jokowi hingga kesimpulan bisa dianggap sahih.

Berdasarkan pernyataan presiden Jokowi di detik.com,  kehancuran masa depan pertanian di tangan Jokowi dimulai dari pertama,  Merauke, Papua, sebagai pusat pertanian pangan berbasis teknologi modern pertama di Indonesia. Tidak mungkin bisa dikerjakan pakai tangan, sampai kiamat tidak mungkin. Harus pakai mesin modern. Nanti Merauke yang pertama pakai mesin modern, di Indonesia belum ada. Pertanyaan pertama yang menggaggu saya adalah kenapa harus Papua? Apakah karena Jawa terlalu penuh manusianya? Pernahkah Jokowi membaca sejarah tentang pangan masyarakat Papua? Teknologi modren yang dimaksud seperti apa?. Kecerobohan kita tentang beras sudah pernah terjadi. Kegagalan pembukaan lahan 1 juta hektar di Kalimantan menyisakan kabut asap ketika kemarau, perampasan lahan, pembabatan kayu gratis, rusaknya ekologi tanah, hancurnya ekosistem. Lalu teknologi modren apa yang akan digunakan? Kalau yang dimaksud teknologi modren adalah mekanisasi pertanian, sebelum dilaksanakan saya yakin akan gagal. Mekanisasi pertanian selalu diikuti dengan monokultur. Monokultur selalu dikuti ledakan hama dan kerentanan gagal panen. Konsep monokultur sudah mulai ditinggalkan sebab sekarang semua praktisi pertanian sedang menuju polikultur kembali.

Bila menilik  pernyataan lanjutannya, maka terlihat bahwa Presiden Jokowi tidak faham pertanian. Pertanyaannya bukanlah tentang mesin yang diadakan secara impor atau dipenuhi dari dalam negeri. Tapi fungsi mesin yang belum dicoba namun sudah diklaiam berfungsi secara massal. Kalaulah teknologi yang dimaksud bukan hanya mekanisasi pertanian tapi teknologi modren maka yang dimaksud adalah rekaya genetika. Teknologi termodren adalah rekaya teknologi dan itu sudah pernah dicoba kegagalannya sebelum Presiden Jokowi menjabat. Ingat setiap jengkal tanah itu berbeda sifat fisik, Biologi dan Kimianya, tidak bisa dipaksakan setiap mekanisasi dan teknologi yang sukses di negara lain secara mentah ke dalam suatu ekologi tanah di Indonesia.

Pernyataan kedua, lahan pertanian berbasis modern butuh dukungan investor. Selain itu juga butuh dukungan masyarakat selaku pemilik lahan, termasuk soal skema bagi hasil dengan investor. Bertani adalah budaya, bertani untuk menghasilkan pangan bagi rakyat. Konsep pertanian Jokowi secara nyata adalah berdagang pangan dengan rakyatnya. Terlihat nyata bahwa tidak ada bedaanya antara perusahaan dengan pemerintahan Jokowi. Seharusnya yang dilakukan Jokowi sebagai Presiden adalah mendorong rakyat untuk bertani dengan dukungan negara melalui pendampingan dana, pelatihan dan penyediaan benih, dan distribusi lahan. Sehingga bertani adalah pemenuhan pangan oleh petani bukan korporasi dan ekonomi pertanian bergerak di petani bukan di korporasi.

Pernyataan ketiga, bukan hanya jadi lumbungnya Indonesia, ini ketergantungan dunia kepada pangan akan ada di Merauke ini. Saya punya target 2 tahun, bisa Pak Menteri yang 1,2 juta hektar? Ditawar 3 tahun. Bisa Pak Bupati? Oke. Nanti kerjasamanya Pak Mentan dan Pak Bupati. Tiga tahun targetnya. Saya akan lihat perkembangannya, 3 tahun harus tercapai. Negara Indonesia adalah importir pangan. Setiap import pangan (Padi, jagung dan kedalai) menaik lebih dari 100%, sumber data silahkan rangkum dari situs resmi perdagangan negara. Kemustahilan juga dipertontonkan dengan target tidak terukur yakni 3 tahun. Bagaimana merealisasikan target 3 tahun jika mesin dan teknologinya saja tidak jelas bahkan belum ada, lahannya tidak jelas dan petaninya juga tidak jelas. Bak kartu-kartu Jokowi, Presiden juga telah membual pangan di Merauke. Berhentilah bekerja Presiden sebab hasil pekerjaan bapak mempercepat hancurnya pertanian sekarang bahkan di masa yang akan datang. Bogor 18 September 2015.

Senin, 22 Juli 2013

Agroecology : Sistem Pertanian Kaum Tani untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan


Kebijakan Revolusi Hijau terbukti gagal dan menghasilkan bermacam krisis pertanian di Indonesia. Krisis pertanian tersebut berupa Erosi tanah, pencemaran ekologi akibat pestisida dan herbisida, eutrofikasi, bahkan perpindahan kepemilikan lahan dan teknologi. Semenjak Pelaksanaan Revolusi hijau (1970-an) perlahan-lahan terjadi pergeseran kepemilikan dari petani menjadi milik perusahaan bidang pertanian (agribisnis). Semula, teknologi pembenihan adalah milik petani, kini menjadi monopoli Monsnato, Syngenta, Dupon dan PT. Bisi Indonesia. Awalnya pengetahuan tradisional untuk menjaga kesuburan tanah berupa pengaturan jadwal tanam, mengikuti perkiraan cuaca, tumpang sari dan pergiliran tanaman tergerus dengan pupuk sintesis buatan petrokimia. Kini, kaum tani bergantung terhadap input eksternal seperti pupuk kimia, pestisida kimia dan benih hibrida (benih pabrik). Muara dari system pertanian ini adalah produktifitas lahan yang tinggi tanpa mengukur keberlanjutan ekologi, budaya, kelembagaan petani dan ekonomi rumah tangga petani. Menurut Prof. Miguel Altieri (2013) system pertanian dengan model industrial ini (model yang menciptakan ketergantunga petani terhadap industry pupuk, pestisida dan benih) tetap langgeng karena empat asumsi yakni 1). Energy yang melimpah ruah dan bahan bakar yang murah, 2). Iklim yang stabil dan kelimpahan air, 3). Alam dapat dikontrol dengan technology, 4). Kelaparan dapat diselesaikan dengan meningkatkan produktivitas. Hingga saat ini 80 % dari 1,5 millliar lahan pertanian ditanami dengan system pertanian konvensional dengan cara monokultur dan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap input eksternal seperti (pupuk kimia, pestisida, benih pabrik dll). System pertanian konvensional terbukti tidak memiliki daya tahan terhadap cuaca ekstrim dan perubahan iklim yang melanda dunia. Pertanian konvensional dengan cirri khas monokultur telah kehilangan daya tahan dan kehilangan mekanisme ekologis untuk bertahan terhadap serangan hama, keseragaman gen dan kerentanan terhadap perubahan cuaca. Berdasarkan Pengamatan SOCLA (sebuah organisasi ilmuan pertanian) kekeringan yang terjadi sepanjang tahun 2012 merupakan yang terburuk sepanjang 60 tahun terakhir dan telah mengakibatkan penurunan produksi Jagung hingga 18%, Kedelai 8 % dan padi 30 %. Kekeringan yang mengakibatkan gagal panen bahkan menyebabkan meroketnya harga berbagai bahan pangan 3 hinga 4 %. Ketergantungan Petani Kerentanan terhadap perubahan iklim bukan satu-satunya yang menjerat kaum tani. Ketergantungan terhadap Pupuk sebagai salah satu input pertanian memiliki ciri khas harga. Peningkatan harga pupuk selalu beriringan dengan peningkatan harga bahan bakar. Ketergantungan terhadap pupuk inimenyebabkan petani harus merogoh koceknya dalam-dalam setiap musim tanam tiba. Biaya yang tinggi terhadap pupuk sebenarnya tidak diiringi dengan kesejahteraan yang meningkat. Peningkatan penggunaan pupuk yang setiap tahun tidak diikuti dengan peningkatan jumlah panen (produktifitas lahan). Efisiensi penggunaan pupuk terutama Nitrogen menurun dari tahun ke tahun. Pada awal tahun 1960 Efisensi Nitrogen mencapai 80 % pada tahun 1990 efisiensi nitrogen hanya 20 % (Miguel Altieri). Begitu juga dengan penggunaan Pestisida dan herbisida. Penggunaan pestisida yang diyakini untuk menghindari gangguan hama supaya produktifitas meningkat tidak terbukti juga. Penggunaan pestisida bahkan mengancam kelanjutan pertanian. Prof. Peter Rosset melaporkan sejumlah mikoorganisme yang menguntungkan di dalam tanah mati akibat penggunaan pestisida, terjadinya ledakan popoulasi hama tertentu, kekebalan pada sejumlah spesies serangga terhadap pestisida dan kekebalan gulma terhadap semprotan herbisida. Serikat Petani Indonesia (2010) melaporkan bahwa kekebalan serangga/hama pengganggu tanaman menyebabkan petani semakin meninggikan dosis pestisida dan herbisida. Penggunaan dosis berlebih tersebut bukan hanya akan semakin menghancurkan ekologi akan tetapi juga semakin menghancurkan ekonomi petani. Kesimpulan sederhana dari keadaan ini adalah menambah input semacam pupuk ternyata mengurangi jumlah produktifiatas. Jadi ilusi untuk mengontrol alam tidak bekerja dan tidak benar adanya. Kelaparan Dunia Kelaparan di Dunia ini sudah menyentuh angka 1 Milliar orang. Kelaparan yang disebabkan kemisikinan bukan karena kekurangan produksi (1/3 dari populasi manusia tergolong miskin karena memiliki pendapatan kurang dari 2 $/hari, asumsinya tidak lama lagi kelaparan akan menjangkiti 1/3 dari populasi manusia di bumi). Pertanian sebenarnya sanggup menyumbang pangan 9 sampai 10 milliar orang akan tetapi semua hasil pertanian tersebut tidak digunakan untuk pangan manusia. Industrial pertanian menggunakan hasil pertanian semacam jagung (zea mays) dan kedelai sebagai bahan bakar dan makanan ternak. Industrial pertanian lebih mementingkan keuntungan dari penjualan bahan bakar nabati daripada menyelamatkan manusia dari kelaparan. Professor Lappe (1998) telah melaporkan 78 % dari anak-anak balita kurang gizi tinggal di Negara berkembang dimana terjadi surplus pangan atau swasembada pangan. Jadi, masalah ketercukupan pangan bukan hanya masalah harga, produksi dan distribusi pangan akan tetapi bagaimana setiap rumah tangga mampu menghasilkan pangannnya. Logika sederhanaya adalah bagaimana setiap rumah tangga di pedesaan di Negara berkembang akan menghasilkan pangannnya apabila lahannya dikuasai industrial pangan dan masyarakat pedesaan adalah buruh dari industrial pangan yang mengahasilkan bahan bakar bukan pangan. Solusi Bisnis (2008) melaporkan bahwa 80 % dari industrial pangan adalah untuk memenuhi pasar pangan internasional. Pasar pangan internasional akan mengikuti harga tertinggi yakni hasil pertanian sebagai bahan bakar nabati bukan pangan. Jadi, pola ekspor dan impor industrial pertanian adalah untuk memberikan bahan bakar bagi kenderaan si tuan kaya bukan memenuhi pangan internasional. Globalisasi dari bawah Tak pelak lagi, keadaan ini membuat munculnya perlawanan kaum tani terhadap ketidakadilan tumbuh subur di berbagai Negara, terutama Amerika Latin. Di awal-awal masa perlawanan kawasan ini, revolusi mempengaruhi struktur sosioekonomi di beberapa negara, termasuk di dalamnya Meksiko, Bolivia, Kuba dan Nikaragua. Perlawanan kaum tani yang banyak menjadi rekomendasi dan inspirasi kaum tani di berbagai belahan dunia adalah ANAP-Cuba dengan system agroekologinya dan MST-Brazil dengan okupasi lahannya. Jika membicarakan pembaruan agraria di Amerika Latin, maka kita harus merunut pada sepak terjang gerakan reforma agraria populis dari MST (Organisasi Petani Tak Bertanah) di Brazil. MST merupakan sebuah gerakan sosial paling fenomenal dalam sejarah Amerika Latin dan menjadi model gerakan masyarakat sipil—terutama petani di dunia. Sejak tahun 1984, sekitar 250.000 keluarga telah berjuang mewujudkan pembaruan agraria, dengan mengokupasi tanah seluas 21 juta hektar lebih. Gerakan ini berhasil mentransformasikan dirinya menjadi gerakan dari bawah ke atas yang mencerminkan masyarakat sipil (bottom-up) dan populis. Tercatat anggota MST sekarang mencapai 2.5 juta orang (dalam desa-desa atau settlement) plus jutaan lebih simpatisan (pendukung), dengan perkembangan tidak hanya mengolah tanah, tapi juga mengembangkan alternatif sosial yang lebih dari itu. Untuk itulah di Amerika Latin, MST menjadi model pembaruan agraria yang sejati—karena cakupan makna pembaruan agraria yang diusungnya tidak berhenti hanya pada kepemilikan lahan, namun terus menjadi sebuah perubahan sosial dari proses produksi, konsumsi hingga distribusi kebutuhan anggotanya. Dari hampir 2000 settlement (desa yang dibuat dari proses okupasi lahan) yang tersebar di 23 propinsi, kini MST mulai memperlebar dan membuat gerakan pembaruan agraria menjadi masif. Hebatnya lagi, gerakan ini populer dan mendapat dukungan rakyat sekitarnya. Hingga saat ini, keberadaan MST pun menjadi krusial di kancah politik, dengan perannya pada kemenangan Presiden Lula Inacio da Silva di dua kali pemilihan (2002 dan 2006). Okupasi tanah oleh MST dalam 1990-1996 Tahun Okupasi Jumlah Keluarga Luas Tanah (hektar) 1990 43 kali 11,484 --- 1991 51 kali 9,862 7,037,722 1992 49 kali 18,885 5,692,211 1993 54 kali 17,587 3,221,252 1994 52 kali 16,860 1,819,963 1995 93 kali 31,531 3,250,731 1996 176 kali 45,218 --- Total 518 kali 151,427 21,021,879* Tabel 1. Okupasi tanah dalam gerakan pembaruan agraria oleh MST dalam periode 1990-1996 Letak keberhasilan MST sebenarnya adalah pada rasionalisasi perjuangannya yang dituangkan pada pendidikan dan aksi nyata. Perjuangan MST yang utama adalah perjuangan menegakkan keadilan dalam bidang agraria, dengan melaksanakan reforma agraria sejati (vis a vis land reform Bank Dunia dengan pasar tanahnya). Reforma agraria jangan diartikan secara sempit sebagai proses redistribusi lahan saja, melainkan juga mencakup proses pra-produksi (tata guna tanah), produksi hingga pasca produksi (pasar, distribusi, industri). Pengertian secara luas inilah yang menjadi rasionalisasi MST pada khususnya, dan organisasi tani lainnya di dunia pada umumnya, terhadap perjuangan melawan neoliberalisme. Pendidikan menjadi salah satu pilar utama pembangunan rakyat, dengan banyaknya institut, sekolah dan pengelolaan yang rapi—dari tingkat settlement hingga nasional. Pendidikan juga dilaksanakan secara cepat dan masif, terutama di tingkat-tingkat basis. Faktor lain yang mendukung perkembangan organisasi rakyat seperti MST agar bisa masif dan populis antara lain adalah jaringannya dengan gereja katolik dan para pakar. Walaupun tidak terafiliasi secara langsung, dukungan kedua pihak ini semakin menegaskan bahwa gerakan reforma agraria yang diusung MST terlegitimasi dan merupakan pilihan rasional. Sebuah polling pada bulan Maret 1997 menyatakan bahwa 77 persen responden mendukung gerakan MST dan 85 persen mengesahkan gerakan okupasi tanah tanpa kekerasan yang dilakukan organisasi ini. Di bulan yang sama, deklarasi mendukung MST juga ditandatangani 200-an lebih wartawan, artis dan intelektual ternama. Agroekologi Masa depan kaum tani untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Agroekologi merupakan sebuah pendekatan pertanian yang dirancang sesuai prinsip-prinsip ekologi; metabolism alam, sistem sosial, dan budaya; serta pengetahuan lokal (Mulvany, 2010). Rosset (2010) mengemukakan agroekologi adalah pertanian yang dapat: a. Meningkatkan penggunaan dan pengembalian biomassa dan menjaga kesetimbangan perputaran unsur hara. b. Membantu memulihkan kondisi tanah yang rentan, menjaga permukaan tanah, dan menjamin sirkulasi bahan organik dan biologi tanah. c. Meminimalkan kehilangan hara dari sistem pertanian berdasarkan desain tanam dan panen hara tertutup. d. Mendorong fungsi biodiversitas di permukaan dan di dalam tanah, serta menjaga lansekap lahan. e. Mendorong peningkatan interaksi bilogi dan hubungan antara berbagai komponen yang mampu memberikan sistem pelayanan biologis seperti regenerasi kesuburan tanah dan mengendalikan hama tanpa penggunaan bahan luar semacam pestisida kimia. f. Bersimbiosis dengan pengetahuan lokal yang hidup di masyarakat yang sudah terbukti merupakan pertanian yang sehat dan berkelanjutan sepanjang masa. g. Memperaktekan langsung cara bertani yang ramah lingkngan sehingga terjadi perbaikan dan pemulihan kondisi lahan pertanian yang sudah terdegradasi. Dimplementasikan pada lahan skala kecil untuk mengintensifkan area marginal. Membangun kedaulatan petani dan pangan karena tidak tergantung pada eksternal input yang dikuasai perusahaan-perusahaan besar. Berkenaan dengan urgensinya, para pakar menyampaikan beberapa alasan mengapa agroekologi penting. Pertama, agroekologi dapat mematahkan anggapan bahwa pertanian skala besar yang sarat modal, teknologi canggih dan efektifitas manajemen lahan mampu menjawab kelaparan, kemisikinan petani, menghasilkan produk pertanian yang murah, dan mampu menyediakan ketersediaan pangan. Namu faktanya sangat berbeda. Pertanian konvensional yang sarat modal dan boros sumberdaya tersebut tidak mampu memberikan solusi kekurangan bahan pangan. Tapi sebaliknya menimbulkan permasalahan lain. De Schutter (2010) dalam Journal Peasant Studies mengemukakan hasil analisis bahwa pertanian skala besar merupakan bencana pertanian abad 21. Karena pertanian skala besar telah menyebabkan perpindahan hak penggunaan lahan dari petani ke pengusaha pertanian, baik pengusaha pertanian nasional atau trans-nasional (TNC). Hal ini telah menyebabkan petani kecil kehilangan lahan dan kesempatan untuk mencukupi pangan bagi keluarganya. Kedua, agroekologi menentang keras pola pertanian sejenis (monoculture farming). Menurut Altieri (1999b, pertanian monokultur dapat merusak biodiversitas dan menyebabkan matinya beberapa mikroorganisme yang menguntungkan tanah dan tanaman; serta menyebabkan rantai pangan suatu ekosistem terputus. Dengan demikian, hanya organism yang mampu menghasilkan pangan sendiri dan organism yang mobilitasnya tinggi yang sanggup bertahan. Selain itu, pun tanah menjadi miskin unsur hara sehingga untuk memenuhi kebtuhan tanaman harus digantikan dengan pupuk kimia. Ketiga, agroekologi menentang penggunaan teknologi yang dapat merusak sistem alam. Sebaliknya, mendukung penggunaan teknologi yang berkembang di masyarakat sesuai dengan kearifan lokal (local wisdom). Ketergantungan pertanian yang sangat tingi pada teknologi seperti saat ini sudah sangat membahayakan. Dan ini sudah mengikis pengetahuan lokal yang hidup sesuai dengan budaya bertani. China merupakan negara yang kini mendominasi penguasaan teknologi pertanian pangan utama, disusul oleh India pada urutan kedua. Pada pertemuan Traktat International Sumberdaya genetika untuk pangan dan pertanian ITPGRFA (International Treaty Plant Genetic Resources for Food and Agriculture) ke-4 di Bali Maret 2011, dibahas mengenai bahaya monopoli teknologi pertanian. Salah satu simpulan penting adalah mengenai penerapan hak kekayaan intelektual pada teknologi pertanian yang dianggap tidak relevan karena teknologi pertanian merupakan hasil evolusi dari teknologi milik para petani. Oleh karena itu, kalaupun royalti atas kekayaan intelektual teknologi pertanian akan diterapkan maka petanilah yang paling berhak atas royalti tersebut (ETC Group, 2013). Keempat, pada tahun 2008, sebuah grup yang bergerak di bidang konservasi, pembangunan keanekaragaman budaya, ekologi, dan HAM (Erosion, Technology and Concentration Group) melaporkan bahwa negara industri sudah menguasai dan mematenkan 90% dari benih sedang beredar dan diperjualbelikan. Ini artinya, rantai pangan paling vital yaitu benih sudah berada di tangan negara maju yang disokong oleh perusahaan benih multinasional. Hal ini tentunya akan menyulitkan akses terhadap pangan (ETC Group, 2013). Selain itu, ETC Group juga menyampaikan bahwa trend penguasaan perusahaan atas benih meningkat setiap tahunya. Pada tahun 1996, penguasaan pasar benih dunia oleh 10 perusahaan benih pada tahun 1996 hanya sebesar 37%, meningkat pada tahun 2004 menjadi 49%, pada tahun 2005 mencapai 51%. Pada tahun 2006, penguasaan perusahaan swasta atas belih mencapai 57%; dan pada tahun 2007 menguasai 67 % (ETC Group, 2009)Ungkapan salah seorang petinggi MST di atas sepertinya menjadi cerminan bagi garis gerakan MST untuk mempengaruhi politik Brazil. Kedekatan mereka dengan Partai Buruh (PT, pimpinan Presiden terpilih sekarang, Lula Inacio da Silva) ternyata tidak melemahkan posisi mereka sebagai organisasi rakyat. Seperti yang kita ketahui, MST yang konstituennya merupakan petani tak bertanah tetap konsisten dalam garis organisasi untuk menyejahterakan anggotanya. Hal ini juga tercermin dari pemerintahan sebelum Lula, yakni Presiden Sarney dan Cardoso. Janji-janji reforma agraria yang diberikan kedua presiden ternyata tidak nyata sampai ke rakyat. MST dalam kasus ini terus mengkritisi program reforma agraria yang dilakukan pemerintah, sambil terus melakukan aksi-aksi okupasi dan reklaiming tanah bersama anggotanya. Penguasaan benih oleh perusahaan-perusahaan, selain mempersulit akses petani terhadap benih juga telah menyebabkan menurunnya keanekaragaman hayati berupa benih lokal yang hidup di masyarakat akibat berpalingnya petani dari benih lokal ke benih pemuliaan perusahaan. Kemampuan petani dalam memuliakan benih pun semakin menurun. Hal ini merupakan bencana karena petani kehilangan budaya bertani dan kreativitasnya. Pusat-pusat penangkaran benih yang dibuat oleh pemerintah sebagai respon atas kelangkaan benih lokal tersebut malah menjadi senjata baru untuk menguasai teknologi benih pertanian. Petani yang menangkar benih, dibeli oleh perusahaan atau lembaga pembenihan, tapi petani tidak dapat menggunakan atau mengedarkan benih tersebut sekalipun hanya untuk kalangan internal. Kriminalisasi petani yang menggunakan benih hasil penangkaran sendiri telah kerap terjadi. Lagi-lagi ini merupakan politik ekonomi perusahaan dan lembaga pemerintah yang ingin melakukan monopoli peredaran benih (Pramono, 2010). Kelima, agroekologi “mengharamkan” penggunaan pupuk kimia dan pestisida. Pengharaman ini dikarenakan pertanian konvensional yang sangat tergantung pada input pertanian tersebut telah menimbulkan persoalan lingkungan dan kesehatan yang luar biasa. Gliesmann (2007) yang melakukan penelitian di Guatemala, Honduras, dan Nicaragua bersama Pesticide Action Network North America (PANNA) menyebutkan beberapa dampak negatif dari sistem pertanian konvensional sebagai berikut: a. Dapat menyebabkan penurunan kesuburan tanah, tertahannya humus tanah, berkurangnya kelembaban tanah, rusaknya vegetasi yang ada di lingkungan, erosi; pencemaran lingkungan berupa kandungan bahan berbahaya di lingkungan dan makanan. b. Ketergantungan petani pada input-input eksternal yang dapat meningkatkan biaya produksi yang berakibat pada kerugian ekonomi c. Penggunaan air berlebihan dan kerusakan sistem hidrologi. d. Kehilangan diversitas genetika dan varietas tanaman pangan lokal. e. Peningkatan kesenjangan global antara negara-negara industri dan negara-negara berkembang. Prasyarat Agrokeologi Agroekologi sejatinya merupakan praktek pertanian yang telah dilakukan oleh nenek moyang petani kita. Agroekologi merupakan budaya bertani yang telah lama hidup di masyarakat. Namun, karena perubahan zaman, kini agroekologi telah lama ditinggalkan. Proses mengembalikan agroekologi sangat mungkin. Namun, diperlukan prasyarat sebagai berikut (Pramono, 2010): 1. Reforma Agraria. Reforma agraria merupakan prasyarat pelaksanaan agroekologi. Agroekologi tak mungkin dilaksanakan secara masif tanpa diawali dengan reforma agraria. Hal ini dikarenakan petani hanya menguasai sedikit lahan, bahkan banyak petani yang tidak memiliki lahan. Sehingga petani mengalami kesulitan untuk bereksperimen. Namun, reforma agraria masih menghadapi jalan terjal. Usaha petani mendapatkan penguasaan lahan milik pemerintah untuk keperluan kegiatan bertani sangat tidak mulus, bahkan harus ditebus dengan darah perjuangan. Itulah setidaknya yang doiperlihatkan oleh para petani di Sumatera Utara, Jambi atau Wonosobo (Pramono, 2010). 2. Pendidikan dari petani ke Petani. Menurut Rosset (2010a), salah satu kegagalan pendidikan petani di beberapa negara dikarenakan kesalahan proses pendidikan. Petugas lapang yang diangggap memiliki ilmu bertani sejatinya bukan petani sehingga interaksi mereka dengan petani sangat rendah. Tidak terjaling kepercayaan karena tidak ada sambung rasa. Oleh karena itu, Rosset menyampaikan konsep pendidiakn dari petani ke petani. Yang dimaksud adalah petani yang telah mendapatkan pencerahan, atau mendapatkan ilmu bertani dan telah bereksperimen dengan ilmunya didirong untuk menyampaikan atau mengajarkannya kepada petani yang lain. Bahkan, mengajak petani lain untuk bersama-sama melakukan eksperimen. Proses ini akan efektif karena di antara sesama petani sudah terjalin komunikasi yang baik dan terbuntuk tali sambung rasa sehingga tingkat kepercayaan di antara mereka sudah tinggi. Prinsip agroekologi adalah bertani merupakan budaya, karena itu pengetahuan brersifat terbuka sebagaimana telkah dicontohkan oleh para nenk moyang pretani masa silam. 3. Agroekologi mempersyaratkan adanya riset partisifatif. Artinya, penelitian tentang tata cara bertani mulai dari penyiapan bibit, penyiapan lahan, pupuk, pestisida alami, kombinasi tanaman dan lain-lain harus dilakukan bersama petani. Petani harus menjadi aktor utama dalam penelitian tersebut. Jika melibatkan para ilmuan dari lembaga penelitian atau universitas harus diperankean sebagai fasilitaor atau meneyiapkan methodology agar riset dapat terlaksana dengan baik. Penelitian partisipatif ini penting karena akan fokus pada permasalahan pertanian yang dihadapi petani, sehingga petani sendiri yang akan menemukan solusi atas permasalahan yang dihadapinya. Pelaksanaan agroiekologi membutuhkan adanya kebijakan pendukung. Selain kebijakan dasar seperti UUD 1945 Pasal 33 dan Undang – Undang Pokok Agraria, perlu juga dipikirkan adanya kebijakan yang mendukung kemandarian dan perlindungan petani. Agroekologi mensyaratkan zero eksternal input. Karena itu petani agroekologi harus menyiapkan input alternatif yang disiapkan sendiri oleh petani, termasuk benih, pupuk dan pengendali hama alami. Pendidikan ke arah sana mutlak diperlukan. 4. Pasar yang adil. Salah satu kelemahan petani adalah tidak berkuasanya petani dalam menentukan harga atas barang yang diproduksinya. Petani dipaksa untuk mengikuti mekanisme pasar yang sangat tidak simetris. Seharusnya, harga komoditas pertanian ditetapkan berdasarkan modal usaha pertanian bukan mengikuti selera pasar. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan kebijakan perlindungan atas komoditas pertanian dalam negeri. Perlindungan in penting untuk menjaga keberlanjutan pertanian lokal dan membangkitkan ekonomi riil. 5. Penguatan kelembagaan. Penguatan kelembagaan petani merupakan prasyarat penting. Hal ini mengingat posisi tawar petani sangat rendah. Petani harus belajar berorganisasi. Jika organisasi petani kuat, maka arus informasi di kalangan petani akan berjalan cepat. Selain itu, petani pun akan memiliki standing yang kuat pada saat berhadapan dengan pihak lain, baik pemerintah, swasta maupun kekuatan lainnya. Mereka bermitra dengan siapapun dengan menggunakan organisasi taninya. Untuk itu, pemerintah hars mendorong dan memfasilitasi dalam pembentukan organisasi petani yang kuat. 6. Solidaritas. Para petani harus didorong memiliki solidaritas tinggi di antara para petani. Jiwa korsa petani harus hidup. Oleh karena itu, petani harus memiliki aturan main di antara mereka untuk membentuk jiwa korsa tersebut. Pertemuan antara organisasi petani harus rutin dilakukan pada setiap tingkatan. Dan, mereka harus memiliki, mengetahui dan menyadari korpsnya sebagai petani. Metodologi Riset agroekologi Prinsip-prinsip pertanian yang ada harus segera dihitung dan diuji. Prinsip-prinsip pertanian yang diinginkan sebagai jawaban adalah pertanian yang memiliki model baru berupa pertanian yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, tahan terhadap perubahan cuaca dan adaptipf terhadap perubahan iklim dan efesien terhadap penggunaan sumberdaya alam. Metodologi yang dikembangkan dalam agroekologi adalah Assessing the performance of agroecological project. Guideline pertanyaannya berupa : 1. Konservasi tanah (menggunakan no atau minimum tillage) 2. Bagaimana penerapan produksi intensifikasi yang berkelanjutan? 3. Apakah benih yang digunakan merupakan benih lokal, tangkaran sendiri, benih pabrik atau benih transgenic? 4. Pendekatan apa yang dilakukan dalam bertani, apakah pertanian organic, agroekologi dan pertanian konvensional? 5. Bagaiamana teknologi yang digunakan, apakah teknologi petani, teknologi di luar petani? 6. Apakah teknologi dari luar petani tersebut dapat diadopsi oleh petani? 7. Bagaimana metodologi pendidikan yang dilakukan oleh petani, apakah farmer led, campesino a campesino, market driven, top down) 8. Perluasan lahan, apakah lahan yang digarap sekarang merupakan lahan monokultur atau meruapakn lahan yang agroekologis? Mapping Praktek Agroekologi (Mengembangkan instrumen evaluasi pertanian) : a. Adakah pertanian yang memiliki konsep dan prinsip agroekologi? b. Adakah pertanian yang memiliki system agroekologi? Berapa luas lahannya? Berapa anggotanya? c. Keuntungan agroekologi d. Bagaimanan menerapakan : sosialisasi dan replica e. Evaluasi

Kamis, 20 Desember 2012

REVOLUSI PENDIDIKAN PERTANIAN IPB: INSTITUSI YANG MENGHASILKAN PETANI

Insitut Pertanian Bogor melaksanakan prosesi wisuda lima kali dalam setahun. Rektor IPB melepas mahasiswa sebanyak 800 orang setiap kali prosesi. Beribu keluarga berbahagia larut dalam penyematan gelar akademik. Tidak peduli, anak petani, pedagang, saudagar, pengusaha, politisi, hingga pejabat negara semua berkumpul dari pagi hingga petang hari. Semua orang berharap pada hari tersebut momen perubahan kehidupan segera terwujud. Namun, pertanyaan paling mendasar muncul benarkah perubahan kehidupan segera terwujud? Perubahan kehidupan seperti apakah yang akan terjadi? Dan perubahan kehidupan seperti apa yang sebenarnya kita butuhkan? Apabila defenisi perubahan hidup yang dimaksud adalah terjadinya perpindahan status sosial dan pekerjaan dari anak petani menjadi sales obat (Medical Representatif), atau anak seorang pedagang pasar menjadi front liner sebuah Bank tentu tidak membutuhkan sekolah berlama-lama apalagi sampai menghabiskan 4-5 tahun di Lembaga Pendidikan Tinggi Pertanian. Namun, demikianlah kenyataannya. Penulis tetap menghargai pekerjaan tersebut akan tetapi rasanya kurang cocok apabila dilakoni alumni almamater institusi pertanian. Jhon Marsh dalam bukunya yang kontroversial “Class Dismissed” telah menjawab beberapa pertanyaan di atas. Ia berpendapat wisudawan sekarang tidak akan mampu memahami gejolak dan arah kehidupan yang mereka jalani. Sebab pertama kelas dan kurikulum sekarang tidak menghadirkan kehidupan, hanya mereproduksi alat. Kedua, kelas dan kurikulum pendidikan yang ada bukan untuk menjawab permasalahan yang ada namun sebagai barang import dari pendidikan negara maju untuk melanggengkan kepentingan Negara maju. Ketiga, kelas dan kurikulum tidak membebaskan civitasnya untuk mendebat dan mencari format yang tepat bagi kebutuhan negara yang bersangkutan. Keempat, kurikulum dan kelas tidak mampu mendiagnosis ketidak adilan sosial dan ekonomi yang sedang terjadi. Kita pun bertanya, apakah Thesis Jhon Marsh berlaku bagi Insitut Pertanian Bogor? Apakah thesis Jhon Marsh berseberangan dengan apa yang sedang kita alami? Atau memang IPB merupakan salah satu lembaga pendidikan tinggi yang sedang dikritik oleh Jhon Marsh? Pendidikan Tinggi Pertanian ala IPB Rektor IPB (Prof Dr Ir H. Herry Suhardiyanto) terkenal dengan konsepsi World Class University. Ia berpendapat masa depan pendidikan tinggi pertanian harus berkelas internasional dan berbasiskan industri dan inovasi pertanian tropika. Rektor pun segera mewujudkannya dengan mendirikan beberapa bangunan baru di IPB, Akreditasi menjadi program prima dan kerjasama dijalin dengan berbagai universitas termuka. Namun sayang , perubahan pada pola dan metode pendidikan terlupakan. Rektor IPB masih mengadopsi sistem pendidikan pertanian superior yang menganggap segala sesuatu yang disampaikan dalam perkuliahan tidak terbantahkan dan ilmu lapangan yang dimiliki petani jauh dari kategori ilmiah. Hal ini dibuktikan dengan pendidikan tinggi pertanian IPB terpisah dari petani. Seminar - seminar tentang teknologi, inovasi dan temuan IPB selalu nir-petani. Seolah petani cukup di ladang dan sawah sementara, ilmuan IPB (civitas akademika IPB) wajib berfikir dalam kerangkeng penelitian dan pilot project. Wajar apabila temuan IPB selama ini hanya menghasilkan alat dan mesin bagi perusahaan pertanian bukan mereproduksi kehidupan yang baru bagi petani. Pada aspek lain, mahasiswa sebagai penerima pengetahuan tidak bisa berbuat banyak. Ide - ide kreatif berbenturan dengan kebijakan “menggenjot” lulusan/wisudawan sebanyak dan secepat mungkin. Akibatnya, Mahasiswa terjebak dalam perburuan huruf mutu dan perlombaan mendapatkan surat kelulusan. Atmosfer akademik juga tak memberi ruang diskusi yang mendalam. Mahasiswa diibaratkan gelas kosong yang harus diisi dengan ilmu - ilmu yang diimport dari Negara maju. Mahasiswa juga tidak dibekali dengan saringan pengetahuan kritis apakah ilmu dan pengetahuan tersebut cocok dengan falsafah, budaya, social , ekonomi dan politik Bangsa Indonesia?. Akibatnya mahasiswa menjadi “gagap teknologi” dan terpesona dengan teknologi pemupukan dan aplikasi pestisida yang menggunakan pesawat serta memandang sinis kepada sistem pertanian ekologis yang menjadi warisan petani. Keadaan di atas berimbas pada pola dan perilaku mahasiswa IPB. Terbukti dengan apa yang dialami penulis pada KKP tahun 2008 di Tegal. Hampir saja desa Kedawung Kecamatan Bojong yang asri dan selaras dengan keanekaragaman hayati berubah menjadi desa monokultur. Tim mahasiswa KKP kedawung menyarankan kepala desa Kedawung untuk mewujudkan program one commodity one village. Sebuah program yang ternyata keliru karena based on monoculture and agribusiness principle. Ide ini tidak datang begitu saja, akan tetapi dilandasi harapan transformasi pertanian desa Kedawung menjadi pertanian ala Amerika Serikat yang monokultur dengan bisnis tanaman pangan yang menjanjikan. Dengan asumsi seragamnya pertanian Amerika, canggihnya pengairan dan irigasi Belanda dan majunya Bioteknologi German. Tanpa sedikit berfikir kritis ilmu pengatahuan hasil impor tersebut tidak cocok dengan petani yang sempit lahannya. Fakta diatas mengindikasikan bahwa civitas akademika IPB semakin meninggalkan sistem pertaniannya sendiri dan tercabut dari sumber ilmu pertaniannnya. Berbagai solusi palsu bermunculan salah satunya adalah menutup Program Studi Sosial Ekonomi di setiap Fakultas. Sebagai konsekwensi, Fakultas baru (Fakultas Ekonomi dan Menajeman dan Fakultas Ekologi Manusia). didirikan untuk menopang keilmuan sosial dan ekonomi pertanian. Pendirian kedua Fakultas tersebut menjadi harapan nyata untuk memasukkan pendekatan social dan ekonomi dalam pembangunan pertanian. Jauh panggang dari api, kurikulum dan pendekatan ilmu sosial dan ekonomi berbasis pertanian hanya sebagai pelengkap penderita belaka. Bahkan Dr Revrisond Bhaswir (dalam Dies Natalis FEM ke-10) menuduh Fakultas EkonomidanManajemen di Indonesia sebagai agen Neoliberal, dimana Neoliberalisme merupakan Idiologi Ekonomi Politik yang harus bertanggung jawab atas semakin miskinnya Negara berkembang. Keresahan diatas seakan tidak menjadi soal dikemudian hari, seolah kenyataan ini hanya sebuah fenomena belaka. petinggi IPB pun tidak terganggu. Buktinya anekdot “Lulusan IPB adalah ahli disemua lini kecuali Pertanian” diamini oleh Rektor IPB. Belum lekang dalam ingatan kita kala Rektor IPB berujar “Saya tidak menyalahkan jika banyak lulusan IPB yang bekerja di bidang lain selain pertanian karena memang sistem insentif belum memberi apresiasi di bidang pertanian di negeri ini” (http://id.berita.yahoo.com/wajar-lulusan-ipb-bekerja-di-luar-keilmuan-154540866.html ). Bagaimana lokomotif transformasi pertanian ini berjalan baik apabila masinisnya tidak percaya diri dengan gerbong yang ia bawa? Tidak hanya mahasiswanya yang resah, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga sudah memberikan sinyalemen kecerobohan sistem pendidikan pertanian di IPB. Muhaimin Iskandar pernah menyayangkan banyaknya alumni IPB yang menjadi pelayan setia Perusahaan. Muhaimin menyindir ketidakpekaan alumni IPB dengan berujar “Kalau bisa, alumni IPB, jangan semuanya direkrut oleh perusahaan, sebagian harus terjun dalam dunia wirausaha, menciptikakan lapangan kerja dan menjadi pemimpin perusahaan sendiri," (http://www.beritasatu.com/ekonomi/73483-kemenakertrans-minta-alumni-ipb-terjun-ke-wirausaha.html ). Dalam tracer study tahun 2006 menunjukkan hanya 35% alumni IPB bekerja di bidang pertanian dalam arti luas. Sebanyak 65 % bekerja di luar sector pertanian. Namun Direktur Kemahasiswaan IPB menganggap hasil tracer study biasa saja. (http://luthfi.blogsome.com/2008/08/01/tentang-alumni-ipb/). Padahal ini merupakan bukti nyata bahwa mahasiswa dan alumni IPB sudah tidak percaya dengan masa depan pertanian bahkan nyatanya meninggalkan pertanian. Tentu ini bukan fenomena biasa, ini adalah sebuah realitas yang harus direvolusi. Tekad yang bulat dan semangat yang berapi-api tidak akan berguna apabila falsafah dasar tidak segera dibenahi. Kebingungan akan masa depan pertanian harus dijawab dengan mulai menghadirkan petani di setiap perhelatan kampus rakyat. Revolusi Pendidikan Pertanian. Kampus harus melayani petani. Apabila demikian yang kita kehendaki maka IPB harus melakukan Revolusi Pendidikan Pertanian. Penulis meyakini ada tiga hal pokok untuk mewujudkan revolusi pendidikan pertanian yakni : 1. Sistem Pendidikan Pertanian berbasis Pengetahuan Tradisional dan ekologis. Sistem pendidikan sekarang merupakan sistem pendidikan yang men-generated akumulasi capital (kapitalisme, neoliberalisme), penyebab kerusakan lingkungan dan penghasil ketergantungan terhadap big agriculture corporate. Akibatnya hak – hak pengetahuan tradisional tidak mendapat jatah dalam diskusi-diskusi ilmiah bahkan hanya sebagai barang usang yang menjadi objek wisata. Petani – petani harus dihadirkan di kampus, diberikan haknya untuk menjelaskan pertanian yang ia kerjakan, dilibatkan dalam perumusan kebijakan pertanian (bukankah petani yang sebenarnya menjadi pelaku utama pertanian bukan Doktor atau Profesor yang menjadi ahli perumus naskah akademik), dipulihkan harga dirinya sebagai penyandang pangan dan dihargai karyanya sebagai penjaga pengetahuan tradisional. Dengan demikian IPB akan mampu menyelenggarakan kegiatan semacam ekspo sistem pertanian ekologis, bulan pangan sehat dan dan gebyar pengetahuan tradisional. IPB juga akan menjadi satu-satunya Universitas di Indonesia yang memiliki rangkuman dan penerapan pengetahuan trasisional. Kegiatan semacam ini sangat memungkinkan dilaksanakan, sebab IPB sudah terbiasa menyelenggarakan event yang lebih besar, hanya sedikit modifikasi pada narasumber, biasanya Monsanto Indonesia, Pioneer, Bisi, USAID, Ilmuan Bioteknologi Eropa dan ahli Ekonomi Amerika digantikan Petani, organisasi petani dan nelayan, masyarakat adat dan masyarakat lokal. 2. Pola pendidikan partisipatif. Pendidikan pertanian IPB yang ortodok dan konvensional harus dirombak menjadi pola pendidikan pendidikan partisipatif. Mahasiswa pertanian harus menghabiskan 75% dari umur pendidikannya di lahan petani, sisanya untuk mendebat, mendiskusikan dan mencari solusi dari praktek pertanian yang dilakukan petani. Peserta didik harus melakukan tiga dasar pendidikan pertanian partisipatif yakni live in with peasant (hidup bersama petani) yakni menginap di rumah petani, makan bersama petani dan bekerja bersama petani. Inilah pola pendidikan yang demokratis, pola pendidikan yang lahir dari anak didik, untuk anak didik dan oleh anak didik. IPB tidak boleh bekerja sendiri lagi, lahan – lahan praktek pertanian, perikanan, peternakan dan kehutanan IPB harus dikerjasamakan dengan organisasi – organisasi petani, peternak kecil, konsorsium masyarakat pinggir hutan dan nelayan. Berdasarkan pengalam penulis ketika live in bersama petani Sukabumi dan Bogor sepanjang tahun 2010 – sekarang, penulis menemukan ratusan permasalahan pertanian modern dan menemukan juga beribu solusi karya petani. 3. Pola penelitian partisipaif. Penelitian -penelitian IPB ke depan harus adil dan partisipatif serta menempatkan petani sebagai subjek dari penelitian. Para peneliti (dosen, mahasiswa, Lembaga Penelitian) di IPB harus menghentikan pemaksaan penerapan hasil penelitiannya bagi petani. Peneliti harus berhenti mengasingkan dirinya di Laboratorium dan keluar dari model – model yang menjadi kepercayaannya. Peneliti IPB harus turun ke desa – desa menguji praktek pertanian small scale farming, mengevaluasi kebijakan – kebijakan Revolusi Hijau dan dengan berani dan jujur menciptakan sendiri solusi yang tepat untuk diterapkan bersama petani. Merevitalisasi dan terus mengembangkan fungsi dan peran klinik tanaman, menggembangkan dan mendirikan pusat pupuk hayati komunal di tingkat petani, mendirikan Bank Benih IPB dan Lumbung Benih di tingkat desa, mendirikan dan mengembangkan pusat penelitian dan transformasi pedesaan, mengembangkan pusat pangan lokal dan mendirikan Pusat Usaha Mikro IPB. Penulis meyakini apabila semua ini dilaksanakan banyak sekali penelitian solutif yang bermanfaat buat rakyat Indonesia dan peran IPB sebagai solusi permasalahan pertanian, pedesaan dan urban akan terwujud. Hal ini tidaklah sulit, Guru besar Universitas berkelas dunia sudah melakukannya. Sebut saja Prof. Miguel Altieri dari Berkley University yang sukses bersama Jaringan Agroekologinya di Amerika Latin, Prof. Peter Rosset yang hidup bersama petani di Via Campesina, Prof. Patrick Mulvany sukses bersama Practical action, dan Sateesh di India yang telah sukses mengorganisir kaum kasta rendah India untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Revolusi pendidikan pertanian merupakan cita – cita yang sangat mungkin diwujudkan. Sebuah Revolusi yang melahirkan mahasiswa dan alumni IPB yang sanggup menyelesaikan permasalahan-permasalahan pertanian. Revolusi pendidikan pertanian untuk melayani petani dan turut bersama petani membuka jalan pembebasan petani. Pembebasan petani dari penjara ketergantungan input eksternal. Inilah tatanan revolusi pendidikan pertanian yang harus kita dorong bersama.

Selasa, 07 Juni 2011

Merangkai Kedaulatan Benih

A. Benih Sumber Kehidupan

Sejarah pertanian adalah sejarah kegigihan petani dalam mencari, menyeleksi dan memuliakan benih melalui domestifikasi untuk melanggengkan kehidupannya. Melalui proses domestifikasi selama beribu tahun atas spesies liar yang ada di alam, maka kemudian dihasilkan benih yang kemudian dikenal sebagai bermutu dan berkualitas. Tercatat 250,000 varietas benih bisa digunakan sebagai tanaman pangan, diantara 7 sampai 10,000 pernah ditanam sebagai bahan pangan, 150 jenis masih ditanam di seluruh dunia, 12 jenis bibit sanggup menghidupi 90 % pangan dunia. Namun kini terjadi krisis benih dan hanya 4 jenis mendominasi pangan dunia yakni : jagung, beras, gandum dan kentang. Posisi Indonesia juga sulit sebab dari technology penguasaan benih Indonesia hanya menguasai 4 % benih jagung, 5 % kacang panjang dan tidak menguasai sama sekali benih tanaman padi sebagai tanaman pangan pokok Indonesia.

Tabel 1.
Penguasaan benih olehNegara Maju.

Dari tabel 1. bisa dilihat bahwa penguasaan koleksi berada di negara – negara dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan tekhnolog tinggi dan sudah barang tentu akan terjadi ketimpangan dan akses terhadapa benih. Akses terhadap benih ini sebenarnya salah satu penyebab krisis benih.

Etc group (2008) melaporkan 90% dari benih yang tercatat dikuasai oleh Negara industry dan 80 % benih terbaru hasil penelitian sedang beredar dan diperjual belikan. Dan benih tersebut sudah terdaftar dan dipatenkan. Artinya, rantai pangan sekarang sudah berada di tangan Negara maju yang disokong perusahaan benih multinasional dan hal ini akan menyulitkan terhadap akses pangan.

Perubahan Iklim dan Kelaparan

Dalam World Food Summit (2009) dilaporkan bahwa pertanian menyumbang 14 % dari total emisi rumah kaca dunia. Sebuah consensus ilmiah telah membuktikan bahwa pertanian juga merupakan ancaman terhadap perubahan iklim dan bisa mengancam kondisi pangan dunia. Kondisi suhu yang cenderung naik 0,4 oC pertahun meningkatkan cuaca ekstrim di dunia dan kecenderungan peningkatan suhu ini juga mengancam biodiversitas sebab terdapat beberapa benih yang tidak tahan terhadap cuaca ekstrem, bahkan bisa punah.

Tak dapat dipungkiri peningkatan suhu akan memperparah kondisi iklim tropika dan sub-tropika. Ancaman kelaparan sudah di depan mata terutama daerah tropika seperti Indonesia. Daerah tropika diprediksi akan mengalami penurunan produksi sebesar 20 – 40 %. Indonesia sebagai salah satu negara tropis diprediksi akan menanam dalam kondisi iklim panas yang tidak pernah dilakukan sebelumnya. Tentu kondisi akan sangat menghawatirkan, dan bisa diramalkan kegagalan panen dakan terjadi lagi dan kelaparan akan melanda Indonesia.


Gambar 1. Kondisi Pangan Dunia (diolah dari Etc group.2008)

Beda halnya dengan keuntungan perusahaan pangan. Tatkala dunia dilanda kelaparan perusahaan pangan dunia mendapat keuntungan berlipat ganda. Perusahaan pangan mengontrol 50 % dari peredaran benih dan pestisida dengan keuntungan mencapai 300 %. Grain (2008) melaporkan GRAIN (2008) yang menunjukan keuntung Cargill (USA) meningkat 69 % sebesar 3,951 miliar dolar, Monsanto 120 % sebesar 2,926 miliar dolar dan Potas Corp. (Canada) meningkat sebesar 164 % dengan keuntungan sebesar 4,963 miliar dolar.

Beberapa perusahaan pangan lebih menekankan factor produksi benih yakni jagung gandum, kedelai dan padi. Perusahaan pangan tersebut juga didukung pabrik pangan semacam Nestle, Unilever, Kraft dan ConAgra.

Kelaparan yang melanda dunia tahun 2008 malah terjadi di Negara – Negara penghasil pangan, 95 % berada di wilayah Selatan, dan 75 % terjadi di Pedesaan. Ironis, Negara penghasil pangan seharusnya berkelimpahan pangan malah kelaparan. Ini akibat kecendrungan liberalisasi pertanian yang menghantui dunia. Banyak Negara tak bisa mendefenisikan keadaan pangannya, sehingga tak mampu menjaga ketersediaan pangannya. Kecendrungan ini akan mempercepat urbanisasi sebab desa tak menjadi jaminan kehidupan lagi.

Pangan dan Benih
Benih sebagai sumber kehidupan merupakan bagian utama dari penyediaan pangan. Keberhasilan bertani ditentukan oleh bagus tidaknya benih, hampir 60 % kegiatan bertani bertumpu pada benih. Benih yang seyogyanya berada di tangan petani kini telah berevolusi menjadi milik perusahaan. Hak Kekayaan Intelektual (paten) dituding menjadi penyebab utama perpindahan control benih ini.

Gambar 2. Penguasaan Paten benih.

Benih yang sudah menjadi bahagian kehidupan petani sejak dahulu kala berawal dari proses yang sangat panjang. Petani mengambil tanaman liar di alam kemudian didomestifikasi (dijinakan) untuk dijadikan varietas local (ras temurun). Petani dengan pengetahuan traditional (Traditional Knowledge) menangkarkan benih untuk menjaga keberlanjutan system perbenihan. Namun, dengan pengetahuan modern dan sokongan modal yang kuat, varietas local milik petani kini diubah gennya menjadi varietas modern. Kemudian varietas modern tersebut menggantikan varietas traditional karya petani. Dan inilah yang dituding menjadi penyebab berkurangnya keanekaragaman hayati.

Kekhawatiran maraknya keanekaragaman hayati yang hilang mendorong berbagai Negara (diawali tahun 1970) untuk mengembangkan pusat penelitian koleksi varietas tertentu. Koleksi yang dikembangakan beberapa Negara ini menyimpan benih yang cukup besar. IRRI (2005) melaporkan sudah menyimpan 3 juta lebih benih. Dan terbuka kemungkinan terjadinya penguasaan akses benih secara sepihak dan bahkan monopoli. Jika kedua hal ini terjadi maka para petani di desa tak mampu lagi bertani karena tak mampu mengakses benih dan harus bergantung pada permainan monopoli benih, panganpun tak tersedia lagi di meja makan.

Penguasaan Benih di Indonesia

Pemilik benih yang seharusnya petani tidak demikian halnya di Indonesia. Perusahaan Agribisnis lah yang merajai benih. Sejak Indonesia melaksanakan proyek revolusi hijau 1970-an Benih-benih yang dihasilkan perusahaan transnasional telah menyerang secara massal. Perusahaan Agribisnis telah sukses menggantikan benih local petani dengan benih modern (transgenic crop), Lebih dari 10,000 padi varietas lokal hilang, dan petani mengalami ketergantungan dalam menggunakan benih hibrida. Lebih buruknya lagi, pemerintah melakukan impor ribuan ton benih hibrida karena mereka tidak dapat memenuhi permintaan petani. Tingginya jumlah permintaan petani terhadap benih tidak mendorong pemerintah untuk mendukung petani dalam menankarkan benih dan memenuhi bibit secara mandiri. Sebaliknya, pemerintah melarang kreasi petani, Petani dikriminalkan dengan tuduhan sertifikasi illegal dan pencurian benih. Bahkan pemerintah membuat kaum tani tergantung pada perusahaan agribisnis dengan membuka program investasi dibidang benih yang lebih luas. Di Indonesia ada beberapa perusahaan pengelola benih diantaranya : PT Shang Hyang SRI, PERTANI, PT. Syngenta Indonesia dan PT Bayer Indonesia, PT Bisi Internasional, Charoen Pokhpand, PT Bayer Indonesia, PT Dupont Indonesia (Pioneer) dan Monagro (anak perusahaan Monsanto).



Gambar 3. Perusahaan Benih International.



Perkembangan Industri benih padi di Indonesia

Produksi padi selama 2008 naik 4,76 persen menjadi 60,28 juta ton dibanding produksi 2007 yang tercatat 57,16 juta ton gabah kering giling (GKG). Sebelumnya, menurut BPS produksi padi tahun 2007 juga telah meningkat 4,96 persen dibanding produksi tahun 2006 yang mencapai 55,4 juta ton.

Kenaikan produksi padi dalam empat tahun terakhir tidak lepas dari makin banyaknya penggunaan benih padi bersertifikat oleh petani. Hal ini terlihat dari kenaikan produksi benih padi bersetifikat yang cukup tinggi dalam empat tahun terakhir yaitu dari 117 ribu ton tahun 2005 menjadi 177 ribu ton tahun 2008.

Volume produksi benih padi bersertifikat ini kurang lebih separuh dari kebutuhan benih padi nasional yang mencapai 360 ribu ton per tahun pada lahan padi nasional seluas 12,66 juta hektar.

Tingginya permintaan ini telah mendorong investasi disektor pembenihan padi seperti terlihat dengan makin banyaknya perusahaan swasta baik nasional maupun asing yang menanamkan modalnya di sektor pembenihan baik dengan melakukan pendirian perusahaan pembenihan baru maupun dengan melakukan perluasan kapasitas produksinya. PT Sang Hyang Seri (SHS), BUMN di bidang pembenihan misalnya telah membangun fasilitas produksi baru dengan kapasitas produksi 10.000 ton benih per tahun. Produksi benih padi bersertifikat mencapai 181.000 ton.

Kondisi Perbenihan di Indonesia
Indonesia sebagai Negara agraris memiliki permintaan benih yang tinggi. Namun, petani tak mempunyai kemampuan untuk memproduksi benih secara massal dan petani tidak mampu mengakses benih yang tersedia. Hingga kini akses dan produksi benih masih dikuasai oleh perusahaan. Berikut gambaran perbenihan nasional Indonesia.

B. Mewujudkan Kedaulatan Benih

Produksi benih
Semenjak kaum tani merasakan dampak dari Pelaksanaan Revolusi hijau, kini kaum tani bangkit untuk merebut kembali kedaulatan benihnya. Kaum tani bergegas menangkarkan benih. Kaum tani kembali mendapat kepercyaan bdiri untuk menggunakan benih local dan menolak benih transgenic. Hingga kini sudah ada 54 jenis benih yang ditangkarkan oleh petani di Kabupaten Bogor dan sudah tersimpan di Pusat Perbenihan Nasional – Serikat Petani Indonesia. Benih – benih tersebut sudah melalui proses uji sehingga sudah dibagikan kepada para petani Bogor.

Benih yang sudah ditangkarkan adalah papaya, bengkoang, padi, kangkung, bayam dan kacang tanah. Saat ini benih yang sudah ditangkarkan petani SPI di Bogor mencapai 54 jenis benih. (bersambung…..)

Selasa, 28 Desember 2010

Menyelamatkan Pangan Indonesia dari mitos Swasembada Pangan

Berita Kompas Selasa (21/12) dengan judul “Pangan Berbasis Rumah Tangga” sempat membuat penulis tersenyum bahagia karena yakin penyediaan pangan nasional kembali diselenggarakan kaum tani akan tetapi setelah membaca berita tersebut isinya berupa mitos-mitos swasembada pangan yang menjadi acuan penyelenggaraan pangan nasional.

Mitos Swasembada Pangan.

Kelimpahan, bukan kelangkaan, inilah gambaran pangan dunia yang dirilis oleh Food first (Insitut for food and development policy) tahun 2006. Namun, goncangan pangan tahun 2008 menyerang dunia dan kini FAO merilis satu Milliar orang kelaparan (one billion people hunger) seakan membuktikan dunia sedang mengalami kekurangan dan kelangkaan pangan. Sehingga timbul pertanyaan kenapa begitu banyak orang kelaparan? Dan apa yang harus dilakukakan untuk mengatasi kelaparan?
Mengutip hasil penelitian Michel Pimbert (2010) yang menyatakan goncangan pangan tahun 2008 diakibatkan pangan tidak diselenggarakan oleh petani dan spekulasi perusahaan pangan. Hal ini menambah keyakinan penulis bahwa pemenuhan pangan (swasembada pangan) tanpa petani adalah mitos belaka.

Pertama, mitos benih GMO. Benih GMO atau Gen Modified Organism merupakan benih perusahaan hasil rekayasa technology tinggi dan berbentuk suiside seed atau benih yang membunuh dirinya sendiri alias mandul. Benih ini mampu meningkatkan produksi hingga 30% namun tak bisa ditangkarkan. Artinya, jika benih ini digunakan maka petani akan bergantung pada jenis benih perusahaan karena tak mampu menangkarkannya. Bukan hanya itu benih GMO juga dapat mengkontaminasi benih lain melalui mono-cross atau double cross sehingga mengancam benih lokal dan biodeversitas.

Kedua, mitos ketersediaan pangan. Kelaparan dan gizi buruk masih menjadi ancaman buat 1 miliar penduduk dunia. Indonesia oleh Global Hunger Index (GHI) masuk dalam kategori 'serius' yang berada di bawah level 'mengkhawatirkan' dan 'sangat mengkhawatirkan', Lebih mengherankan lagi adalah kelaparan dan gizi buruk justru terjadi di pedesaan tempat dimana pangan dihasilkan. Artinya, ketersediaan pangan tinggi, namun tak terjangkau oleh masyarakat pedesaan (petani) sebab desa hanyalah sentra produksi pangan yang dimiliki perusahaan pangan.

Ketiga, mitos ektensifikasi pertanian. Logika menaikkan produksi dengan ekstensifikasi pangan adalah benar, namun yang menjadi permasalahan adalah perluasan lahan pertanian itu untuk siapa?. Realitanya perluasan lahan pertanian diperuntukan bagi pengusaha pertanian bukan petani. Lihat saja mega proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) dengan menyediakan 2,5 juta lahan dan dikelola Investor/perusahaan semacam PT Medco (mengembangkan padi, jagung, dan kedelai), PT Bangun Cipta (jagung), PT Wilmar (tebu), serta PT Industri Gula Nusantara (gula).
Keempat, mitos minat tani. Menurut Penelitian penulis tahun 2009, di Bogor tidak ada korelasi antara pendidikan formal yang diterima masyarakat(pemuda) dengan keinginan untuk bertani. Hal ini semakin nyata tatkala melihat presentase lulusan Perguruan Tinggi Pertanian yang lari dari kegiatan bertani.

Mewujudkan Kedaulatan Pangan

Untuk menjawab pertanyaan dan mitos-mitos swasembada pangan tersebut, selayaknya kita sudah bangun dari mimpi panjang swasembada pangan tanpa petani. Kita memulai langkah-langkah kedaulatan pangan yakni ; Pertama, Kedaulatan benih. Benih merupakan salah satu input produksi utama bagi petani. Adalah tugas seorang petani untuk memelihara dan menjadikan benih sebagai sumber makanan. Martabat seorang petani bergantung dari kemampuannya untuk memelihara dan menghasilkan benih untuk kelangsungan hidup manusia di dunia. Oleh karenanya, kedaulatan petani atas benih merupakan hak azasi yang harus dimiliki oleh petani untuk menegakkan kedaulatan pangan.

Kedua, kaum tani sebagai penyelenggara pangan. Untuk menghindari spekulasi pangan dan liberalisasi pangan, tak lain pangan harus diselengarakan kaum tani. Jika pangan sudah berada di tangan kaum tani maka dengan sendirinya kelaparan dapat diatasi. Petani menjadi penyedia pangan dan sudah tentu petani mampu menjangkau harga pangan.

Ketiga, Reforma Agraria. Reforma Agraria adalah proses pembagian lahan untuk petani. Pembagian lahan sebagai pemilik atau pengguna yang diatur oleh perundang-undangan (Undang -Undang Pokok Agraria tahun 1960). Dan menjadi catatan bahwa reforma agrarian (RA) bukan hanya proses pembagian lahan saja namun harus diikuti dengan proses pendidikan petani guna menerapkan kembali pertanian ekologis (agroekologi).

Keempat, pendidikan pemuda tani. Guna menjamin terlaksananya pertanian berkelanjutan bukan dengan simsalabim tapi dengan mendidik pemuda tani. Para pemuda tani harus mendapat pendidikan yang benar dan pelatihan pertanian dini di lapangan. Pemuda tani bukan hanya sebagai peyuluh tapi pengorganisir petani juga. Pemuda tani terdidik bertugas menyelamatkan lahan – lahan yang sudah terdegradasi bahan kimia.

Senin, 23 Agustus 2010

Agroekologi : Kemerdekaan Kaum Tani*

Pekik 65 tahun Indonesia Merdeka rasanya sunyi dan sepi. Apakah karena bertepatan dengan Ramadhan sehingga jauh dari hangar bingar acara seremonial atau memang kita merasa sunyi sendiri karena Pidato Kenegaraan Presiden menciptakan kesunyian itu? Wajar saja sunyi, karena Pidato kenegaraan kali ini tak menyinggung masalah 60 % penduduk Republik ini (petani).

Masalah petani ternyata belum dianggap penting oleh Presiden SBY. Padahal jika dicermati serius nasib petani sekarang tak ubahnya seperti masa penjajahan dahulu. Menggarap sawah dan ladang namun tak kunjung cukup untuk makan. Dan penulis menyebutnya sebagai Agrokolonial.

Agrokolonial
Proses Kolonialisasi saat ini sama dengan yang dilakukan VOC (Perusahaan dagang zaman Belanda) yakni melalui hasil pertanian. Namun, Agrokolonial sekarang tersistem dengan baik karena dukungan warga pribumi. Agrokolonial disetting dengan tiga hal. Pertama, Pendidikan Pertanian. Pendidikan Pertanian yang diajarkan di Perguruan Tinggi sekarang lebih condong kepada mazhab Agrobisnis. Mazhab Agrobisnis mengajar peserta didik untuk taklid buta atas monopoly perusahaan terhadap sektor hulu (baca : ladang-ladang pertanian) hingga sektor hilir (pasar hasil produksi pertanian). Mazhab ini juga cenderung mengampanyekan untuk menanam produk pertanian berorientasi pasar (market oriented) bukan kebutuhan local (local need). Jika Agrobisnisasi ini dibiarkan, kaum tani akan terpinggirkan. Pelaku pertanian akan berpindah dari petani kecil ke perusahaan besar semacam Monsanto, Potas dan Cargill. Lihat saja penelitian GRAIN (2008) yang menunjukan keuntung Cargill (USA) meningkat 69 % sebesar 3,951 miliar dolar, Monsanto 120 % sebesar 2,926 miliar dolar dan Potas Corp. (Canada) meningkat sebesar 164 % dengan keuntungan sebesar 4,963 miliar dolar ketika kelaparan sedang melanda dunia.

Kedua, Tekhnologi Pertanian. Sejak Green Revolusi tahun 1970-an petani dipaksa menanam secara intensif. Petani disodori paket – paket tehnologi yang tidak memandirikan kaum tani, sebut saja Benih GMO, Pupuk Pabrik dan Pestisida. Dan paket tekhnologi tersebut justru menghancurkan kearifan local kaum tani, Keragaman hanyati dan mengerus kesuburan lahan – lahan petani. Walhasil petani menggantungkan jadwal tanam atas ketersediaan benih pabrik, pupuk dan pestisida bukan kepada benih hasil tangkaran dan pupuk alam hasil olahan kaum tani.

Ketiga, akses lahan pertanian. Sejak disyahkannya Undang – Undang Penanaman modal nasib kaum tani semakin tidak jelas arahnya. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat lebih mendahulukan kepentingan Pengusaha kelas kakap. Kaum tani pun semakin susah mendapat akses – akses terhadap lahan. Perlawanan rakyat pun semakin massif misalnya tragedi berdarah akibat Konflik agraria seperti di Kontu, Muna Sulawesi Tenggara dan Awu, Lombok NTB. Bahkan salah satunya masih berlangsung yakni perjuangan kaum tani dan masyarakat adat di Rengas Sumatera Selatan untuk mendapat hak tanah mereka dari PTPN VII.

Agroekologi dan jalan kaum tani.
Secara konsepsional Agroekologi merupakan sistem pertanian yang menerapkan konsep dan prinsip ekologi dalam merancang dan mengelola keberlanjutan keragaman hayati hingga ekosistem pertanian yang berkeadilan berbasis keluarga tani guna mewujudkan kedaultan pangan dan kedaulatan petani. Dalam konsepsi tersebut jelas tersirat bentuk – bentuk kemerdekaan kaum tani pertama, Pendidikan yang berpihak. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan Serikat Petani Indonesia di Bogor, Jawa Barat para petani dididik untuk mengoptimalkan berlangsungnya proses interaksi dan sinergi antara komponen biologi hingga menyediakan mekanisme bagi sistem kesuburan tanah, produktifitas dan perlindungan tanaman. Petani dididik untuk menangkarkan benih dan membuat Seed Bank (bank benih) milik petani, mendirikan saung pupuk kompos dan direct selling yang diatur oleh Koperasi petani. Sistem agroekologi juga lebih mengedepankan local need guna menjamin kedaulatan pangan

Kedua, Tekhnologi madya. Dalam praktek Agroekologi petani dididik untuk mengembangkan agro ekosistem dengan meminimalisasi ketergantungan input eksternal berupa pupuk dan pestisida yang bersumber dari bahan kimia. Kaum tani diberikan pemahaman pupuk organik dan model bio-pestisida yang sudah menjadi pengetahuan lokal petani sehingga terbebas dari penjahan perusahaan benih, pupuk dan Pestisida.

Ketiga, Terwujudnya Reforma Agraria. Secara Praktek Agroekologi sejalan dengan prinsip reforma Agraria. Agroekologi juga mampu mengakselerasi penghapusan kelas buruh. Karena dengan Agroekologi kaum tani mampu mengerjakan setiap lini pertanian sehingga bisa bertransformasi menjadi Kaum tani yang mandiri secara ekonomi dan jauh dari praktek monopoli oleh satu pihak. Sebagaiman diatur dalam UUPA pasal 13 ayat 1-2.

Jalan kemerdekaan kaum tani dari penjajahan pertanian sudah jelas. Pertanyaannya adalah adakah iktikad dan niat baik kita untuk membuka dan memperlebar jalan itu guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?

Azwar Hadi Nasution.
Pegiat Agroekologi Bogor.

Rabu, 02 Juni 2010

Dar - der - dor.

hufh. . .
Beberapa hari ini aku dipusingkan dengan ide - ide yang tidak tertuang.
akan tetapi aku harus tetap menceritakannya sebagai pengingat nanti.

here we are,

Dalam buku Anti-Duhring,saya menemukan adanya sebuah kontras dan kritik balik filsafat terhadap Duhring. duhring dikritik karena dianggap tidak tuntas dalam memahami filsafat Materialisme Marx dan kawan - kawan. dalam kritikan Duhring, ia menyebut beberapa tokoh filsafat sperti Kant, Marx, sebagai utopian bahkan menuduh Marx dan Kant tidak memahami secara esensial filsafat.

Terlepas dari polemik awal ditulisnya Buku Anti-Duhring ada sisi menarik yang luar biasa dan perlu mendapat apresiasi. Antara F. Engels dan Duhring terdapat kesopanan intelektual ketika mereka memperdebatkan sesuatu. Engels membalas kritikan Filsafat Duhring dengan buku, layaknya Duhring mengkritik Filsafat Marx dkk dengan buku juga. Artinya, ktitikan substansial mereka tuntas dari metode sampai dampak, tidak loncat - loncat dan rapi dalam mengambil kesimpulan.

inilah yang menjadi bahan kegundahan saya. Saya dan beberapa teman melihat bahwa Sistem Agribisnis tidak sesuai untuk pertanian Indonesia yang dapat menjaga kedaulatan pangan, rakyat dan bangsa. Akan tetapi kami belum bisa sedahsyat pergolakan pemikiran F. Engels dan Duhring. Kami belum bisa memperlihatkan secara Filosofi, Teori dan Praksis bahwa sisem Agribisnis ini salah dan merupakan solusi palsu.

Sebuah sistem bertani yang kami gagas namanya *********** (nanti idenya dicaplok lagi). Sistem bertani ini merupakan sistem bertani yang harmoni dengan alam, berbasis komunal, tekhnologi yang dapat dikerjakan skala rumah tangga dan lebih dahsyat lagi menurut kami, sistem bertani inilah yang mampu menjamin kedulatan pangan, rakyat dan bangsa. Akan tetapi, secara filosofi, teori dan praksis belum tersusun dengan rapi. Karena belum tersusun dengan rapi inilah yang membuat saya setiap malam diganggu hantu gundah gulana. jika sudah tersusun rapi maka setiap pagi saya sudah bisa bertanya dalam hati "Duhring sebenarnya siapa, kami atau mereka?"

Bogor. 03 Juni 2010 (menjelang rapat pembahasan Integrated Farming).