Selasa, 28 Desember 2010

Menyelamatkan Pangan Indonesia dari mitos Swasembada Pangan

Berita Kompas Selasa (21/12) dengan judul “Pangan Berbasis Rumah Tangga” sempat membuat penulis tersenyum bahagia karena yakin penyediaan pangan nasional kembali diselenggarakan kaum tani akan tetapi setelah membaca berita tersebut isinya berupa mitos-mitos swasembada pangan yang menjadi acuan penyelenggaraan pangan nasional.

Mitos Swasembada Pangan.

Kelimpahan, bukan kelangkaan, inilah gambaran pangan dunia yang dirilis oleh Food first (Insitut for food and development policy) tahun 2006. Namun, goncangan pangan tahun 2008 menyerang dunia dan kini FAO merilis satu Milliar orang kelaparan (one billion people hunger) seakan membuktikan dunia sedang mengalami kekurangan dan kelangkaan pangan. Sehingga timbul pertanyaan kenapa begitu banyak orang kelaparan? Dan apa yang harus dilakukakan untuk mengatasi kelaparan?
Mengutip hasil penelitian Michel Pimbert (2010) yang menyatakan goncangan pangan tahun 2008 diakibatkan pangan tidak diselenggarakan oleh petani dan spekulasi perusahaan pangan. Hal ini menambah keyakinan penulis bahwa pemenuhan pangan (swasembada pangan) tanpa petani adalah mitos belaka.

Pertama, mitos benih GMO. Benih GMO atau Gen Modified Organism merupakan benih perusahaan hasil rekayasa technology tinggi dan berbentuk suiside seed atau benih yang membunuh dirinya sendiri alias mandul. Benih ini mampu meningkatkan produksi hingga 30% namun tak bisa ditangkarkan. Artinya, jika benih ini digunakan maka petani akan bergantung pada jenis benih perusahaan karena tak mampu menangkarkannya. Bukan hanya itu benih GMO juga dapat mengkontaminasi benih lain melalui mono-cross atau double cross sehingga mengancam benih lokal dan biodeversitas.

Kedua, mitos ketersediaan pangan. Kelaparan dan gizi buruk masih menjadi ancaman buat 1 miliar penduduk dunia. Indonesia oleh Global Hunger Index (GHI) masuk dalam kategori 'serius' yang berada di bawah level 'mengkhawatirkan' dan 'sangat mengkhawatirkan', Lebih mengherankan lagi adalah kelaparan dan gizi buruk justru terjadi di pedesaan tempat dimana pangan dihasilkan. Artinya, ketersediaan pangan tinggi, namun tak terjangkau oleh masyarakat pedesaan (petani) sebab desa hanyalah sentra produksi pangan yang dimiliki perusahaan pangan.

Ketiga, mitos ektensifikasi pertanian. Logika menaikkan produksi dengan ekstensifikasi pangan adalah benar, namun yang menjadi permasalahan adalah perluasan lahan pertanian itu untuk siapa?. Realitanya perluasan lahan pertanian diperuntukan bagi pengusaha pertanian bukan petani. Lihat saja mega proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) dengan menyediakan 2,5 juta lahan dan dikelola Investor/perusahaan semacam PT Medco (mengembangkan padi, jagung, dan kedelai), PT Bangun Cipta (jagung), PT Wilmar (tebu), serta PT Industri Gula Nusantara (gula).
Keempat, mitos minat tani. Menurut Penelitian penulis tahun 2009, di Bogor tidak ada korelasi antara pendidikan formal yang diterima masyarakat(pemuda) dengan keinginan untuk bertani. Hal ini semakin nyata tatkala melihat presentase lulusan Perguruan Tinggi Pertanian yang lari dari kegiatan bertani.

Mewujudkan Kedaulatan Pangan

Untuk menjawab pertanyaan dan mitos-mitos swasembada pangan tersebut, selayaknya kita sudah bangun dari mimpi panjang swasembada pangan tanpa petani. Kita memulai langkah-langkah kedaulatan pangan yakni ; Pertama, Kedaulatan benih. Benih merupakan salah satu input produksi utama bagi petani. Adalah tugas seorang petani untuk memelihara dan menjadikan benih sebagai sumber makanan. Martabat seorang petani bergantung dari kemampuannya untuk memelihara dan menghasilkan benih untuk kelangsungan hidup manusia di dunia. Oleh karenanya, kedaulatan petani atas benih merupakan hak azasi yang harus dimiliki oleh petani untuk menegakkan kedaulatan pangan.

Kedua, kaum tani sebagai penyelenggara pangan. Untuk menghindari spekulasi pangan dan liberalisasi pangan, tak lain pangan harus diselengarakan kaum tani. Jika pangan sudah berada di tangan kaum tani maka dengan sendirinya kelaparan dapat diatasi. Petani menjadi penyedia pangan dan sudah tentu petani mampu menjangkau harga pangan.

Ketiga, Reforma Agraria. Reforma Agraria adalah proses pembagian lahan untuk petani. Pembagian lahan sebagai pemilik atau pengguna yang diatur oleh perundang-undangan (Undang -Undang Pokok Agraria tahun 1960). Dan menjadi catatan bahwa reforma agrarian (RA) bukan hanya proses pembagian lahan saja namun harus diikuti dengan proses pendidikan petani guna menerapkan kembali pertanian ekologis (agroekologi).

Keempat, pendidikan pemuda tani. Guna menjamin terlaksananya pertanian berkelanjutan bukan dengan simsalabim tapi dengan mendidik pemuda tani. Para pemuda tani harus mendapat pendidikan yang benar dan pelatihan pertanian dini di lapangan. Pemuda tani bukan hanya sebagai peyuluh tapi pengorganisir petani juga. Pemuda tani terdidik bertugas menyelamatkan lahan – lahan yang sudah terdegradasi bahan kimia.