Jumat, 21 Mei 2010

PEMILU KADAL MADINA : Menakar Posisi Masyarakat Mandailing Natal.

Jamuan politik local sudah terhidang. Beberapa koki pun sudah memasang atribut – atribut menu dan resep super untuk memuaskan dahaga aspirasi masyarakat Mandailing – Natal. Akan tetapi ada yang kurang, jamuan tersebut hanyalah kontes koki bukan jamuan hidangan nyata. Seperti inilah gambaran dalam benak saya ketika memperhatikan kondisi perpolitikan masyarakat Mandailing – Natal menjelang PILKADA KAB. MADINA 09 Juni 2010.
--------------------------------
Saat menghadiri diskusi yang diadakan oleh teman – teman Ikatan Mahasiswa Mandailing Natal Bogor (IKMAMADINA – BOGOR) tentang “Re-orientasi gerakan pemuda menjelang PILKADA MANDAILING - NATAL” akhir Februari lalu, saya sudah menyampaikan pandangan saya bahwa PILKADA KAB. MADINA tidak akan memberikan perubahan yang berarti untuk memakmurkan masyarakat Mandailing – Natal. Namun, harapan – harapan tentang perubahan itu terus teman – teman hembuskan melalui beberapa opini dan analisis pun keyakinan saya tetap tidak berubah. Untuk itulah rasanya penting juga saya membuat analisis sendiri dan opini sendiri sebagai jawaban terhadap opini teman – teman yang sudah dengan sukarela mengirimkannya ke e-mail saya. Saya akan memulai pandangan saya melalui “Bedah Visi dan Misi CABUP MADINA” pada kesempatan kali ini saya akan memulai dari nomor urut 1. H Zulparmin Lubis/ Ir Ongku Nasution.

H Zulparmin Lubis/ Ir Ongku Nasution.

Pasangan nomor urut berasal dari kalangan independent. Menurut beberapa berita yang dilansir, jika pasangan ini memimpin MADINA 2010 – 2015 akan jauh dari budaya korup karena tidak harus membayar ongkos politik ke partai – partai pengusung. Terlepas dari perdebatan penyebab budaya korup adalah politik balas jasa atau bukan, mari kita “dekati” seberapa jauh Pasangan ini mampu memakmurkan masyarakat Mandailing – Natal.

Visi dan Misi :

menciptakan kemajuan dan kesejahteraan di Kab. Mandailing Natal dengan pembangunan yang berbasis: Kerakyatan, Agraris dan Religius antara lain.
• Mempercepat pertumbuhan Ekonomi dan Pemerataan pendapatan masyarakat melalui pembangunan sektor. pertanian, perkebunan, perikanan dan pertambangan serta Pembangunan Usaha kecil menengah juga Koperasi guna kemajuan dan kesejahtreaan masyarakat Mandailing Natal.
• Membangun tatakelola pemerintah baik melalui penerapan kaidah-kaidah, Good Governence dengan Birokrasai yang bersih dan berwibawa berorientasi pada peningkatan pelayanan yang prima.
• Mewujudkan pembangunan mandailing natal yang berkelanjutan dan ramah lingkungan dengan mengelolah sumber daya alam yang berwawasan lingkungan hidup.
• Mewujudkan pembangunan Mandailing Natal yang Religius dan Harmonis dalam membangun kehidupan sosial yanga bermartabat dan berkeadilan.

Jika kita perhatikan dari bahasa yang digunakan dalam visi dan misi tersebut maka bisa disimpulkan bahwa teori ekonomi yang digunakan lebih dekat kepada ekonomi kerakyatan. Dan seperti kita ketahui bersama “master” ekonomi kerakyatan di Indonesia adalah Bung Hatta diamana perjaungannya dilanjutkan oleh Mubyarto. Menurut teori Ekonomi Kerakyatan, pertumbuhan itu harus melalui pemerataan (growth via equity). Akan tetapi yang janggal dari visi dan misi ini adalah bagaimana skala prioritas akan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan?

Secara sederhana pertumbuhan ekonomi dalam ilmu ekonomi adalah pencapaian suatu tingkat keadaan ekonomi, tanpa harus mempersoalkan indicator pertumbuhannya apa dan siapa saja. Bisa saja pertumbuhan ekonomi yang tinggi diakibatkan iklim investasi yang bagus akan tetapi tidak dibarengi dengan pemerataan pendapatan. Dan bahkan beberapa ekonom kritis menilai pertumbuhan ekonomi sudah tidak bisa digunanakn untuk melihat keadaan ekonomi suatu wilayah. Hal ini disebabkan tidak terlihatnya pemerataan pendapat melalui pertumbuhan ekonomi. Menurut hemat saya, pasangan H Zulparmin Lubis/ Ir Ongku Nasution menggunakan pendekatan ekonomi yang paradoks. Satu sisi ingin mencapai keadilan ekonomi akan tetapi memakai mazhab menetes ke bawah “trickcle down effect” bukan economic soveregnity (kedaulatan ekonomi).

Ada juga kekhawatiran dalam benak saya jika dalam misi mencapai pertumbuhan ekonomi ini, pasangan nomor 1 ini akan memberikan izin kepada perusahaan untuk berinvestasi besar – besaran di sector rill seperti pertanian dan perikanan. Jika ini terjadi sungguh jauh panggang dari api dengan tujuan pemerataan pendapatan untuk mencapai kehidupan social yang berkeadilan dan bermartabat serta berwawasan lingkungan. wallahu a'alam bi shawab.

Azwar Hadi Nasution (alumni Ikatan Mahasiswa Mandailing Natal - Bogor/IKAMAMADINA - BOGOR)

Selasa, 11 Mei 2010

Pertanian Industrial vs Agroekologi : Menimbang Nasib Petani?

Kondisi Pangan Indonesia di era perubahan iklim ini semakin menghawatirkan. Akibat pemanasan global pada tahun 2008 terjadi penurunan pangan dunia sebesar 15,9%, amerika Latin sebesar 24,3%, Africa sebesar 7.5% dan Asia sebesar 19,3%. Sementara ketersedian pangan lokal jika dihitung dari ketersediaan lahan petani berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Pusat Statsitik tercacat 56 % (12,89 juta) berprofesi petani gurem/buruh tani dengan kepemilikan lahan < 0,3 hektar. Artinya, dengan luasan lahan yang dimiliki petani dibawah 0,3 Ha ketersediaan pangan lokal tidak akan terpenenuhi. Fakta ini akan bertambah parah bila tidak ada kebijakan dan solusi pertanian alternatif yang mengedepankan kepentingan petani gurem/buruh tani di perdesaan.

Petani Gurem.

Kondisi Petani di Indonesia bisa dikatakan sangat mengenaskan. Satu P.T Perkebunan Nusantara bisa memperoleh 93.656 hektare lahan, akan tetapi penulis masih menemukan petani dengan lahan 300 – 500 m2 di Desa Ciarutuen Ilir, Kab. Bogor. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada Desember 2009 terdapat 75 % penduduk desa Ciarutuen Ilir yang memiliki lahan hanya 300 – 500m2. Apabila diproyeksikan dengan hasil penelitian Mendez Ferdias yang menyatakan untuk hidup layak setiap orang petani harus mempuyai lahan minimal 0,5 ha, maka dapat dipastikan 75% penduduk di Desa Ciarutuen Ilir berada dalam kondisi tidak hidup layak. Hal ini senada dengan pernyataan Prof. Dr. Naik Sinukaban (Ahli Ilmu Tanah IPB), ia berpendapat dengan luasan 300 – 500m2 setiap rumah tangga petani hanya berada pada fase Kebutuhan fisik minimum. Kebutuhan fisik minimum adalah kebutuhan untuk pangan, pakaian dan tempat tinggal. Belum termasuk jaminan kesehatan, biaya pendidikan, tabungan dan asuransi. Kondisi ini diperparah lagi dengan buruh tani yang setiap harinya hanya bisa mengantongi Rp.15.000 dan para buruh tani ini hanya bisa bekerja 10 hari dalam setiap bulannya yakni pada musim tanam dan musim panen.

Pertanian Industrial

Sistem pertanian skala industrial belakangan ini semakin disoroti oleh ahli pertanian kritis. Bahkan sebagian besar ahli pertanian kritis menuding Pertanian Industrial berkonstribusi besar terhadap usaha memiskinkan petani di perdesaan. Hal ini diamini oleh Tejo Pramono (pegiat organisasi petani International/La via Campesina) yang menyatakan National Summit dan pertemuan dengan para pengusaha yang dilaksanakan pada Oktober 2009 hanya menghasilkan kemudahan bagi pengusaha pertanian industrial untuk mengelola lahan berdasarkan peraturan pemerintah (PP) terkait investasi pangan dalam skala besar. Peraturan Pemerintah ini mencakup Penguasaan Pangan Skala Luas, seperti PP 11 tahun 2010 tentang Lahan Terlantar dan PP 18 tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman.
Semua peraturan pemerintah tersebut diindikasikan hanya melanggengkan mega proyek “food estate” dan menggagalkan reforma agraria. Sehingga lahan – lahan yang seharusnya dibagikan kepada para petani akhirnya dicaplok perusahan Agribisnis. Akan tetapi Kementerian Pertanian masih saja ”ngotot” dengan kebijakan food estatenya. Pertanian Monokultur ala food estate bukan hanya berdampak secara ekologis melainkan juga kultural. Pasalnya, masyarakat lokal/adat akan tergerus dari habitat ekologisnya akibat ekspansi pertanian monokultur. Bahkan sistem dan siklus ekosistem dalam suatu ekologis akan terpangkas. Dan dikhawatirkan akan menimbulkan serangan hama yang berlebih pada lahan – lahan desa sekitar Percontohan Mega Proyek Pangan ini. Apabila kebijakan Food estate ini masih dipaksakan maka eksistensi tanah ulayat dan hukum adat akan terancam. Bila demikian halnya, food estate hanyalah bentuk kolonialisme baru atas nama politik swasembada pangan. Tidak jauh beda dengan politik revolusi hijau jaman Orde Baru yang memaksa rakyat menggunakan pupuk kimia dan pestisida. Berbagai kritik terhadap food estate ini masih bisa disangkal oleh Kementerian Pertanian dengan menggunakan pendekatan baru yakni melibatkan masyarakat lokal. Dan pertanyaan penulis pun sederhana : bagimana caranya melakukan pengaturan lahan dengan luas 500.000 ha melalui dua kubu yang berbeda antara kebijakan masyarakat lokal yang mengindahkan ekologi dengan perusahaan agribisnis yang menginginkan keuntungan sebesar – besarnya melalui destruksi ekologi? Lantas apa solusinya?

Agro Ekologi

Berdasarkan fakta empiris diatas maka sistem pertanian yang kita butuhkan adalah sistem pertanian yang dilakukan skala rumah tangga petani bukan skala usaha agribisnis. Dengan model pertanian alternatif yang ramah lingkungan dan harmoni dengan ekologi, tak menggerus kultur masyarakat lokal, dan mampu menciptakan kemandirian hingga kedaulatan pangan. Model pertanian alternatif itu yakni Agro-Ekologi. Secara konsepsional, Dr. Aceng Hidayat (Ketua Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, IPB) memberikan defenisi ; pertama, sistem pertanian yang menerapkan konsep dan prinsip ekologi dalam merancang dan mengelola keberlanjutan, keragaman hayati hingga ekosistem pertanian yang berkeadilan. Konsep ini prinsipnya mempertahankan keberlangsungan siklus ekologi yang berlangsung dalam suatu ekosistem dan biosfir. Kedua, mengembangkan agro ekosistem dengan meminimalisasi ketergantungan input eksternal berupa pupuk dan pestisida yang bersumber dari bahan kimia. Sistem agro ekologi lebih mengedepankan pupuk organik dan model bio-pestisida yang sudah jadi pengetahuan lokal petani. Ketiga, mengoptimalkan berlangsungnya proses interaksi dan sinergi antara komponen biologi hingga menyediakan mekanisme bagi sistem kesuburan tanah, produktifitas dan perlindungan tanaman. Keempat, mengutamakan keterkaitan antara ekologi, budaya, ekonomi dan sosial yang mampu menjamin keberlanjutan sistem produksi pertanian, kelestarian lingkungan hingga pangan yang bersifat komunitas.



Oleh: Azwar Hadi Nasution
Alumni Departemen Ilmu Tanah, IPB dan Pegiat Agroekologi Bogor.

Senin, 03 Mei 2010

FOOD ESTATE : Kejahatan Industri Pangan

Ada yang membuat gempar para ahli kebijakan pertanian kritis belakangan ini dengan adanya terobosan baru Kementerian Pertanian yakni Food Estate. Sayang meski kritik berdatangan akan tetapi Menteri Pertanian Baru ini tidak mau sedikitpun mengevaluasi kebijakannya tentang “Food estate”. Padahal alih-alih membawa pertanian Indonesia maju, food estate justru akan semakin menyengsarakan petani.

Secara definisi, food estate adalah pengembangan produksi tanaman pangan berskala luas. Secara praktis budidaya bertani food estate hanya akan cocok bagi para pemilik modal kuat yakni perusahaan besar. Sang Mentan sepertinya lupa, bahwa tugas beliau adalah untuk membela kaum tani dan bukan melepas tanggungjawab untuk memajukan kaum tani yang sebagian besar berlahan gurem.

Para pendukung food estate harusnya berkaca bahwa terdapat orientasi yang sangat berbeda antara pertanian skala luas dengan model pertanian keluarga. Dalam pertanian keluarga, orientasi utama adalah pemenuhan kecukupan pangan keluarga tani. Ingat keluarga tani merupakan mayoritas dari mereka yang rawan pangan di Indonesia. Adapun tujuan utama bari perusahaan pangan yang akan berinvestasi di Food estate ini hanya memperpendek payback periode untuk meraup untung besar. Bukan untuk mengatasi kelaparan, karena kalau pun stok pangan berlebih tetapi petani tetap tidak memiliki uang, toh tidak bisa membeli.

Penulis tidak melihat, walaupun pilot project food estate ini akan sukses untuk mengatasi kondisi di propinsi lumbung kelaparan yakni Papua, khususnya Yahukimo.
Meski oleh para pendukungnya food estate disebut sebagai terobosan, namun bagi penulis lebih tepat sebagai kejahatan pangan. Adapun alasannya adalah Pertama, food estate telah melanggar konstitusi. Dengan adanya Food estate ini maka kebijakan ini akan melanggar pasal 33 UUD 1945. Dalam Penjelasan Pasal 33 jelas tersurat “ Produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota – anggota masyarakat. Kemakmuran masyrakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang”. Akan tetapi dalam prakteknya ternyata kebijakan ini telah mengangkangi tafsir mulia UUD Negara ini.

Kedua, food estate akan menggagalkan Reforma Agraria. Tujuan utama reforma agraria adalah agar tanah-tanah pertanian diredistribusikan kepada para penggarap dan buruh tani tidak bertanah. Bukan kepada perusahaan yang memiliki modal besar, karena justru memperburuk ketimpangan pemilikan tanah di Indonesia. Food estate diperkirakan akan melanggengkan kondisi buruh tani bekerja banting tulang tanpa ada kesempatan mendapatkan lahan sebagai modal utama bertani.

Ketiga, food esate akan menimbulkan dampak akibat kejahatan Biologi. Jika Food Estate ini dilaksanakan, maka akan terjadi pertanian monokultur skala luas. Kondisi ini akan mengakibatkan iklus ekologi yang terputus. Dan tidak akan mengherankan jika suatu saat di tanah – tanah masyarakat Papua akan semakin tidak produktif dan muncul beragam hama serta gulma baru, karena terputusnya rantai makanan.

Keempat, akan berakibat pada munculnya kejahatan Sosial. Jika laju konversi lahan untuk kebutuhan Perusahaan Agribisnis semakin tinggi, maka kepemilikan dan akses lahan masyarakat lokal akan semakin terbatas sehingga akan menimbulkan konflik horizontal. Tidak tertutup kemungkinan suatu saat di tanah Papua setiap harinya kita akan mendapat kabar terjadi peperangan karena semakin terhimpitnya pemenuhan kebutuhan hidup mereka dan tersingkirnya masyarakat lokal.

Maraknya kebijakan yang pro kapital akhir-akhir ini karena mazhab Agribisnis mendominasi ilmu pertanian di Indonesia. Harusnya kita menyadari bahwa terdapat model pemikiran alternatif yang lebih sesuai dengan pertanian rakyat. Model pertanian agroekologi lebih cocok dengan situasi geografis, agroklimat dan juga kondisi sosial-ekonomi dari petani Indonesia. Agroekologi merupakan pertanian berwajah kemanusiaan, yang memusatkan produksi pada azas kebutuhan pangan keluarga bukan permintaan pasar. Agroekologi akan mampu mempercepat tercapainya kedaulatan pangan di Republik yang memiliki penduduk 210 juta jiwa ini. Bukan hanya Agroekologi juga mampu memberikan solusi persoalan perubahan iklim.

Akhirnya, jika Kementerian Pertanian mempunyai maksud mulia untuk menjamin kedaulatan Pangan bangsa dan mensejahterkan petani maka solusi yang tepat adalah pertanian berbasis masyarakat. Tentu saja dengan mendistribusikan lahan ke petani melalui reforma agraria dan dijalankan dengan model agroekologi

Azwar Hadi Nasution, alumni IPB, kini aktif di gerakan tani dan pengembangan agroekologi.

Agroekologi Jawaban atas Problem laten Pupuk.

Rencana pemerintah mengurangi subsidi pertanian bisa dipastikan akan mengakibatkan kenaikan harga pupuk. HET pupuk diperkirakan naik. Menurut penelitian salah satu NGO Pertanian yang dilaksanakan di Cirebon tahun 2007 terhadap petani padi menunjukkan total biaya untuk input eksternal (bibit, pupuk dan pestisida kimiawi) mencapai 45,6 persen dari total biaya produksi yang harus dikeluarkan petani dalam satu musim tanam. Sehingga jika input eksternal dikurangi akan meningkatkan pendapatan petani. Sangat bertolak belakang dengan rencana pemerintah untuk menambah beban input eksternal yang harus ditanggung petani.
Dipastikan akibat kebijakan ini, ongkos produksi akan meningkat dan beban dipikul oleh kaum tani. Karena permintaan yang meningkat, sesuai hukum ekonomi yang dianut oleh pengusaha pupuk maka harga akan dinaikkan. Produsen pupuk akan meningkatkan biaya jual dan tentu saja mau tidak mau petani akan membelinya. Diperparah lagi dengan doktrin bertani bangsa ini masih sangat tergantung akan kebutuhan pupuk. Dengan lahan yang terbatas dan pengeluaran tetap untuk input eksternal yang kian bertambah maka kebutuhan input eksternal seperti benih, pupuk akan terus meningkat. Menyebabkan keuntungan petani kian menurun.Artinya beban bukan di perusahaan tetapi di keluarga tani.
Bila keluarga tani harus mengeluarkan ongkos produksi tani yang semakin tinggi sudah dapat dipastikan akan timbulnya ”sikap emoh” bertani sehingga pendapatan petani akan hilang maka angka kemiskinan dan kelaparan akan meningkat juga. Ingat 70 persen pendapatan keluarga tani dibelanjakan untuk pangan. Jika pendapatan berkurang, maka rawan pangan bakal terjadi. Tidak tertutup kemungkinan stabilitas nasional akan goyang.
Problem pupuk adalah masalah laten tanpa solusi. selama ini kita di dera oleh persoalan pupuk, baik yang sifatnya soal suply tetapi juga aspek lingkungan. Pertama, harga yang tinggi, karena banyak yang dipakai untuk perkebunan.
Kedua, tingkat ketergantungan pada pasokan gas. Sebab terpenting dari rasa puas diri-sekarang berangsur – angsur sudah berkurang dalam soal persediaan gas untuk pasokan pupuk. Persediaan gas selalu menjadi ”dalih” utama untuk menaikkan harga pupuk dan menekan produksi pupuk. Sehingga sudah terbentuk anggapan umum bahwa persediaan gas adalah faktor utama dari kesuburan tanah petani.
Ketiga, tidak bisa diproduksi pada tingkat petani. Pupuk yang beredar di pasaran merupakan pupuk yang dihasilkan melalui tekhnologi tinggi dan modal yang besar dan tidak bisa diproduksi dalam skala rumah tangga tani. Artinya, ketergantungan petani terhadap produksi pabrik pupuk adalah nyata dan jika petani tidak dapat menjangkau harga pupuk maka dengan sendirinya petani tidak dapat melakukan aktivitas taninya.
Keempat, dampak pada lingkungan telah tinggi, karena pemakaian melebihi dosis sehingga mengakibatkan tanah menjadi teracuni. Peristiwa masuknya air ke dalam tanah, yang umumnya melalui permukaan dan secara vertikal atau yang disebut dengan infiltrasi air merupakan dalil nyata bahwa residu pupuk yang berlebih terserap oleh tanah. Sehingga akan terikatnya bahan kimia dalam ruang pori. Akibatnya akan terjadi pengkayaan unsur dalam air atau yang lazim disebut eutrofikasi. Dan keseimbangan konsentari – konsentrasi unsur esensial dalam tanah akan terganggu.
Agroekologi solusi
Mengakhiri persoalan pupuk harus dipahami dengan melihat tentang ekologi politik. persoalan pupuk diakibatkan karena salah satu mata rantai dari agroekosistem dikeluarkan dari ekosistem pertanian. Dan pengeluaran ini karena kepentingan industri.
berdasarkan ilmu tanah, kecukupan hara bisa dipenuhi sendiri oleh alam manakala jasad renik ada, hijauan2 ada atau yang biasa disebut bahan organik. Terutama di daerah lembab, dekomposisi (penguraian) bahan organic dalam tanah melepaskan unsur hara yang diikatnya dan terjadi senyawa sederhana yang mendekati kebutuhan tanaman. sehingga proses pemupukan menjadi tercukupi dan dilakukan sendiri. Inilah yang dinamakan sebagai silus tertutup eksosistem. Perlu diingat bahwa tanah adalah suatu tubuh yang komplek yang saling berkait antara sifat kimai, biologi dan fisika. Sehingga perlu mempertahankan kondisi sehat tanah dengan tidak menambah bahan kimia dari luar.
Sehingga untuk mengatasi persoalan pupuk harus dipandang bahwa pertanian kita mesti berubah dari industrial ke agroekologis. Dalam aspek pupuk terdapat keuntungan yang akan didapat.
Pertama, peningkatan income di keluarga tani karena produksi pupuk baik kompos dan dll dilakukan di desa. Semua yang yang bisa dimanfaatkan dari alam merupakan modal alam yang tidak bisa semena – mena dieksploitasi. Penggunaan pupuk kompos adalah cara sederhana untuk mengembalikan modal alam ini dengan tidak mengurangi pendapatan manusia. Bahan untuk pupuk kompos ini tersedia secara gratis di alam dan bisa dilakukan dengan tekhnologi rumah tangga tanpa harus mengeluarkan biaya tambahan.
Kedua, tidak adal lagi limbah pertanian karena kotoran adalah sumber ekonomi utama. Sisa – sisa dalam pertanian yang tidak dihitung secara ekonomi misalkan sisa daun, batang dan akar pada tanaman tingkat tinggi dalam konsep pertanian tidak berbasis lingkungan merupakan masalah pelik sehingga harus ada tambahan biaya untuk menghanguskannya (waste cost). Justru dalam Agroekologis limbah pertanian yang selama ini dianggap menyusahkan merupakan modal utama dekomposer untuk mempertahankan sikus makanan / rantai makanan.
Ketiga, kontribusi pada penurunan penyakit. Pangan organik sangat rendah radikal bebasnya. Menurut Penelitian FAO yang bekerjasama dengan Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (Ikatan PHT Indonesia) pangan non-organik yang selama ini kita konsumsi rentan sekali mengandung methtyl parathion dan WHO sudah mengkategorikannya dalam kelompok A1 (sangat berbahaya bagi manusia) dan sudah terdapat 25 juta kasus mengenai ini. Akankah manusia terus mengorbankan kelangsungan hidupnya dengan terus merusak alam melalui pertanian yang tidak berbasis lingkungan?
Dengan demikian jika Pemerintah mempunyai niat mulia untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakat maka agroecologis merupakan jawaban nyata paling ekonomis dan ramah terhadap makhluk hidup. Sehingga rencana pemerintah untuk mengangkat harkat dan martabat petani tidak lagi – lagi jauh panggang dari api karena salah satu masalah laten bertani dapat teratasi.


Azwar Hadi Nasution/alumni Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan