Selasa, 11 Mei 2010

Pertanian Industrial vs Agroekologi : Menimbang Nasib Petani?

Kondisi Pangan Indonesia di era perubahan iklim ini semakin menghawatirkan. Akibat pemanasan global pada tahun 2008 terjadi penurunan pangan dunia sebesar 15,9%, amerika Latin sebesar 24,3%, Africa sebesar 7.5% dan Asia sebesar 19,3%. Sementara ketersedian pangan lokal jika dihitung dari ketersediaan lahan petani berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Pusat Statsitik tercacat 56 % (12,89 juta) berprofesi petani gurem/buruh tani dengan kepemilikan lahan < 0,3 hektar. Artinya, dengan luasan lahan yang dimiliki petani dibawah 0,3 Ha ketersediaan pangan lokal tidak akan terpenenuhi. Fakta ini akan bertambah parah bila tidak ada kebijakan dan solusi pertanian alternatif yang mengedepankan kepentingan petani gurem/buruh tani di perdesaan.

Petani Gurem.

Kondisi Petani di Indonesia bisa dikatakan sangat mengenaskan. Satu P.T Perkebunan Nusantara bisa memperoleh 93.656 hektare lahan, akan tetapi penulis masih menemukan petani dengan lahan 300 – 500 m2 di Desa Ciarutuen Ilir, Kab. Bogor. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada Desember 2009 terdapat 75 % penduduk desa Ciarutuen Ilir yang memiliki lahan hanya 300 – 500m2. Apabila diproyeksikan dengan hasil penelitian Mendez Ferdias yang menyatakan untuk hidup layak setiap orang petani harus mempuyai lahan minimal 0,5 ha, maka dapat dipastikan 75% penduduk di Desa Ciarutuen Ilir berada dalam kondisi tidak hidup layak. Hal ini senada dengan pernyataan Prof. Dr. Naik Sinukaban (Ahli Ilmu Tanah IPB), ia berpendapat dengan luasan 300 – 500m2 setiap rumah tangga petani hanya berada pada fase Kebutuhan fisik minimum. Kebutuhan fisik minimum adalah kebutuhan untuk pangan, pakaian dan tempat tinggal. Belum termasuk jaminan kesehatan, biaya pendidikan, tabungan dan asuransi. Kondisi ini diperparah lagi dengan buruh tani yang setiap harinya hanya bisa mengantongi Rp.15.000 dan para buruh tani ini hanya bisa bekerja 10 hari dalam setiap bulannya yakni pada musim tanam dan musim panen.

Pertanian Industrial

Sistem pertanian skala industrial belakangan ini semakin disoroti oleh ahli pertanian kritis. Bahkan sebagian besar ahli pertanian kritis menuding Pertanian Industrial berkonstribusi besar terhadap usaha memiskinkan petani di perdesaan. Hal ini diamini oleh Tejo Pramono (pegiat organisasi petani International/La via Campesina) yang menyatakan National Summit dan pertemuan dengan para pengusaha yang dilaksanakan pada Oktober 2009 hanya menghasilkan kemudahan bagi pengusaha pertanian industrial untuk mengelola lahan berdasarkan peraturan pemerintah (PP) terkait investasi pangan dalam skala besar. Peraturan Pemerintah ini mencakup Penguasaan Pangan Skala Luas, seperti PP 11 tahun 2010 tentang Lahan Terlantar dan PP 18 tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman.
Semua peraturan pemerintah tersebut diindikasikan hanya melanggengkan mega proyek “food estate” dan menggagalkan reforma agraria. Sehingga lahan – lahan yang seharusnya dibagikan kepada para petani akhirnya dicaplok perusahan Agribisnis. Akan tetapi Kementerian Pertanian masih saja ”ngotot” dengan kebijakan food estatenya. Pertanian Monokultur ala food estate bukan hanya berdampak secara ekologis melainkan juga kultural. Pasalnya, masyarakat lokal/adat akan tergerus dari habitat ekologisnya akibat ekspansi pertanian monokultur. Bahkan sistem dan siklus ekosistem dalam suatu ekologis akan terpangkas. Dan dikhawatirkan akan menimbulkan serangan hama yang berlebih pada lahan – lahan desa sekitar Percontohan Mega Proyek Pangan ini. Apabila kebijakan Food estate ini masih dipaksakan maka eksistensi tanah ulayat dan hukum adat akan terancam. Bila demikian halnya, food estate hanyalah bentuk kolonialisme baru atas nama politik swasembada pangan. Tidak jauh beda dengan politik revolusi hijau jaman Orde Baru yang memaksa rakyat menggunakan pupuk kimia dan pestisida. Berbagai kritik terhadap food estate ini masih bisa disangkal oleh Kementerian Pertanian dengan menggunakan pendekatan baru yakni melibatkan masyarakat lokal. Dan pertanyaan penulis pun sederhana : bagimana caranya melakukan pengaturan lahan dengan luas 500.000 ha melalui dua kubu yang berbeda antara kebijakan masyarakat lokal yang mengindahkan ekologi dengan perusahaan agribisnis yang menginginkan keuntungan sebesar – besarnya melalui destruksi ekologi? Lantas apa solusinya?

Agro Ekologi

Berdasarkan fakta empiris diatas maka sistem pertanian yang kita butuhkan adalah sistem pertanian yang dilakukan skala rumah tangga petani bukan skala usaha agribisnis. Dengan model pertanian alternatif yang ramah lingkungan dan harmoni dengan ekologi, tak menggerus kultur masyarakat lokal, dan mampu menciptakan kemandirian hingga kedaulatan pangan. Model pertanian alternatif itu yakni Agro-Ekologi. Secara konsepsional, Dr. Aceng Hidayat (Ketua Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, IPB) memberikan defenisi ; pertama, sistem pertanian yang menerapkan konsep dan prinsip ekologi dalam merancang dan mengelola keberlanjutan, keragaman hayati hingga ekosistem pertanian yang berkeadilan. Konsep ini prinsipnya mempertahankan keberlangsungan siklus ekologi yang berlangsung dalam suatu ekosistem dan biosfir. Kedua, mengembangkan agro ekosistem dengan meminimalisasi ketergantungan input eksternal berupa pupuk dan pestisida yang bersumber dari bahan kimia. Sistem agro ekologi lebih mengedepankan pupuk organik dan model bio-pestisida yang sudah jadi pengetahuan lokal petani. Ketiga, mengoptimalkan berlangsungnya proses interaksi dan sinergi antara komponen biologi hingga menyediakan mekanisme bagi sistem kesuburan tanah, produktifitas dan perlindungan tanaman. Keempat, mengutamakan keterkaitan antara ekologi, budaya, ekonomi dan sosial yang mampu menjamin keberlanjutan sistem produksi pertanian, kelestarian lingkungan hingga pangan yang bersifat komunitas.



Oleh: Azwar Hadi Nasution
Alumni Departemen Ilmu Tanah, IPB dan Pegiat Agroekologi Bogor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar