Senin, 03 Mei 2010

FOOD ESTATE : Kejahatan Industri Pangan

Ada yang membuat gempar para ahli kebijakan pertanian kritis belakangan ini dengan adanya terobosan baru Kementerian Pertanian yakni Food Estate. Sayang meski kritik berdatangan akan tetapi Menteri Pertanian Baru ini tidak mau sedikitpun mengevaluasi kebijakannya tentang “Food estate”. Padahal alih-alih membawa pertanian Indonesia maju, food estate justru akan semakin menyengsarakan petani.

Secara definisi, food estate adalah pengembangan produksi tanaman pangan berskala luas. Secara praktis budidaya bertani food estate hanya akan cocok bagi para pemilik modal kuat yakni perusahaan besar. Sang Mentan sepertinya lupa, bahwa tugas beliau adalah untuk membela kaum tani dan bukan melepas tanggungjawab untuk memajukan kaum tani yang sebagian besar berlahan gurem.

Para pendukung food estate harusnya berkaca bahwa terdapat orientasi yang sangat berbeda antara pertanian skala luas dengan model pertanian keluarga. Dalam pertanian keluarga, orientasi utama adalah pemenuhan kecukupan pangan keluarga tani. Ingat keluarga tani merupakan mayoritas dari mereka yang rawan pangan di Indonesia. Adapun tujuan utama bari perusahaan pangan yang akan berinvestasi di Food estate ini hanya memperpendek payback periode untuk meraup untung besar. Bukan untuk mengatasi kelaparan, karena kalau pun stok pangan berlebih tetapi petani tetap tidak memiliki uang, toh tidak bisa membeli.

Penulis tidak melihat, walaupun pilot project food estate ini akan sukses untuk mengatasi kondisi di propinsi lumbung kelaparan yakni Papua, khususnya Yahukimo.
Meski oleh para pendukungnya food estate disebut sebagai terobosan, namun bagi penulis lebih tepat sebagai kejahatan pangan. Adapun alasannya adalah Pertama, food estate telah melanggar konstitusi. Dengan adanya Food estate ini maka kebijakan ini akan melanggar pasal 33 UUD 1945. Dalam Penjelasan Pasal 33 jelas tersurat “ Produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota – anggota masyarakat. Kemakmuran masyrakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang”. Akan tetapi dalam prakteknya ternyata kebijakan ini telah mengangkangi tafsir mulia UUD Negara ini.

Kedua, food estate akan menggagalkan Reforma Agraria. Tujuan utama reforma agraria adalah agar tanah-tanah pertanian diredistribusikan kepada para penggarap dan buruh tani tidak bertanah. Bukan kepada perusahaan yang memiliki modal besar, karena justru memperburuk ketimpangan pemilikan tanah di Indonesia. Food estate diperkirakan akan melanggengkan kondisi buruh tani bekerja banting tulang tanpa ada kesempatan mendapatkan lahan sebagai modal utama bertani.

Ketiga, food esate akan menimbulkan dampak akibat kejahatan Biologi. Jika Food Estate ini dilaksanakan, maka akan terjadi pertanian monokultur skala luas. Kondisi ini akan mengakibatkan iklus ekologi yang terputus. Dan tidak akan mengherankan jika suatu saat di tanah – tanah masyarakat Papua akan semakin tidak produktif dan muncul beragam hama serta gulma baru, karena terputusnya rantai makanan.

Keempat, akan berakibat pada munculnya kejahatan Sosial. Jika laju konversi lahan untuk kebutuhan Perusahaan Agribisnis semakin tinggi, maka kepemilikan dan akses lahan masyarakat lokal akan semakin terbatas sehingga akan menimbulkan konflik horizontal. Tidak tertutup kemungkinan suatu saat di tanah Papua setiap harinya kita akan mendapat kabar terjadi peperangan karena semakin terhimpitnya pemenuhan kebutuhan hidup mereka dan tersingkirnya masyarakat lokal.

Maraknya kebijakan yang pro kapital akhir-akhir ini karena mazhab Agribisnis mendominasi ilmu pertanian di Indonesia. Harusnya kita menyadari bahwa terdapat model pemikiran alternatif yang lebih sesuai dengan pertanian rakyat. Model pertanian agroekologi lebih cocok dengan situasi geografis, agroklimat dan juga kondisi sosial-ekonomi dari petani Indonesia. Agroekologi merupakan pertanian berwajah kemanusiaan, yang memusatkan produksi pada azas kebutuhan pangan keluarga bukan permintaan pasar. Agroekologi akan mampu mempercepat tercapainya kedaulatan pangan di Republik yang memiliki penduduk 210 juta jiwa ini. Bukan hanya Agroekologi juga mampu memberikan solusi persoalan perubahan iklim.

Akhirnya, jika Kementerian Pertanian mempunyai maksud mulia untuk menjamin kedaulatan Pangan bangsa dan mensejahterkan petani maka solusi yang tepat adalah pertanian berbasis masyarakat. Tentu saja dengan mendistribusikan lahan ke petani melalui reforma agraria dan dijalankan dengan model agroekologi

Azwar Hadi Nasution, alumni IPB, kini aktif di gerakan tani dan pengembangan agroekologi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar