Kamis, 20 Desember 2012

REVOLUSI PENDIDIKAN PERTANIAN IPB: INSTITUSI YANG MENGHASILKAN PETANI

Insitut Pertanian Bogor melaksanakan prosesi wisuda lima kali dalam setahun. Rektor IPB melepas mahasiswa sebanyak 800 orang setiap kali prosesi. Beribu keluarga berbahagia larut dalam penyematan gelar akademik. Tidak peduli, anak petani, pedagang, saudagar, pengusaha, politisi, hingga pejabat negara semua berkumpul dari pagi hingga petang hari. Semua orang berharap pada hari tersebut momen perubahan kehidupan segera terwujud. Namun, pertanyaan paling mendasar muncul benarkah perubahan kehidupan segera terwujud? Perubahan kehidupan seperti apakah yang akan terjadi? Dan perubahan kehidupan seperti apa yang sebenarnya kita butuhkan? Apabila defenisi perubahan hidup yang dimaksud adalah terjadinya perpindahan status sosial dan pekerjaan dari anak petani menjadi sales obat (Medical Representatif), atau anak seorang pedagang pasar menjadi front liner sebuah Bank tentu tidak membutuhkan sekolah berlama-lama apalagi sampai menghabiskan 4-5 tahun di Lembaga Pendidikan Tinggi Pertanian. Namun, demikianlah kenyataannya. Penulis tetap menghargai pekerjaan tersebut akan tetapi rasanya kurang cocok apabila dilakoni alumni almamater institusi pertanian. Jhon Marsh dalam bukunya yang kontroversial “Class Dismissed” telah menjawab beberapa pertanyaan di atas. Ia berpendapat wisudawan sekarang tidak akan mampu memahami gejolak dan arah kehidupan yang mereka jalani. Sebab pertama kelas dan kurikulum sekarang tidak menghadirkan kehidupan, hanya mereproduksi alat. Kedua, kelas dan kurikulum pendidikan yang ada bukan untuk menjawab permasalahan yang ada namun sebagai barang import dari pendidikan negara maju untuk melanggengkan kepentingan Negara maju. Ketiga, kelas dan kurikulum tidak membebaskan civitasnya untuk mendebat dan mencari format yang tepat bagi kebutuhan negara yang bersangkutan. Keempat, kurikulum dan kelas tidak mampu mendiagnosis ketidak adilan sosial dan ekonomi yang sedang terjadi. Kita pun bertanya, apakah Thesis Jhon Marsh berlaku bagi Insitut Pertanian Bogor? Apakah thesis Jhon Marsh berseberangan dengan apa yang sedang kita alami? Atau memang IPB merupakan salah satu lembaga pendidikan tinggi yang sedang dikritik oleh Jhon Marsh? Pendidikan Tinggi Pertanian ala IPB Rektor IPB (Prof Dr Ir H. Herry Suhardiyanto) terkenal dengan konsepsi World Class University. Ia berpendapat masa depan pendidikan tinggi pertanian harus berkelas internasional dan berbasiskan industri dan inovasi pertanian tropika. Rektor pun segera mewujudkannya dengan mendirikan beberapa bangunan baru di IPB, Akreditasi menjadi program prima dan kerjasama dijalin dengan berbagai universitas termuka. Namun sayang , perubahan pada pola dan metode pendidikan terlupakan. Rektor IPB masih mengadopsi sistem pendidikan pertanian superior yang menganggap segala sesuatu yang disampaikan dalam perkuliahan tidak terbantahkan dan ilmu lapangan yang dimiliki petani jauh dari kategori ilmiah. Hal ini dibuktikan dengan pendidikan tinggi pertanian IPB terpisah dari petani. Seminar - seminar tentang teknologi, inovasi dan temuan IPB selalu nir-petani. Seolah petani cukup di ladang dan sawah sementara, ilmuan IPB (civitas akademika IPB) wajib berfikir dalam kerangkeng penelitian dan pilot project. Wajar apabila temuan IPB selama ini hanya menghasilkan alat dan mesin bagi perusahaan pertanian bukan mereproduksi kehidupan yang baru bagi petani. Pada aspek lain, mahasiswa sebagai penerima pengetahuan tidak bisa berbuat banyak. Ide - ide kreatif berbenturan dengan kebijakan “menggenjot” lulusan/wisudawan sebanyak dan secepat mungkin. Akibatnya, Mahasiswa terjebak dalam perburuan huruf mutu dan perlombaan mendapatkan surat kelulusan. Atmosfer akademik juga tak memberi ruang diskusi yang mendalam. Mahasiswa diibaratkan gelas kosong yang harus diisi dengan ilmu - ilmu yang diimport dari Negara maju. Mahasiswa juga tidak dibekali dengan saringan pengetahuan kritis apakah ilmu dan pengetahuan tersebut cocok dengan falsafah, budaya, social , ekonomi dan politik Bangsa Indonesia?. Akibatnya mahasiswa menjadi “gagap teknologi” dan terpesona dengan teknologi pemupukan dan aplikasi pestisida yang menggunakan pesawat serta memandang sinis kepada sistem pertanian ekologis yang menjadi warisan petani. Keadaan di atas berimbas pada pola dan perilaku mahasiswa IPB. Terbukti dengan apa yang dialami penulis pada KKP tahun 2008 di Tegal. Hampir saja desa Kedawung Kecamatan Bojong yang asri dan selaras dengan keanekaragaman hayati berubah menjadi desa monokultur. Tim mahasiswa KKP kedawung menyarankan kepala desa Kedawung untuk mewujudkan program one commodity one village. Sebuah program yang ternyata keliru karena based on monoculture and agribusiness principle. Ide ini tidak datang begitu saja, akan tetapi dilandasi harapan transformasi pertanian desa Kedawung menjadi pertanian ala Amerika Serikat yang monokultur dengan bisnis tanaman pangan yang menjanjikan. Dengan asumsi seragamnya pertanian Amerika, canggihnya pengairan dan irigasi Belanda dan majunya Bioteknologi German. Tanpa sedikit berfikir kritis ilmu pengatahuan hasil impor tersebut tidak cocok dengan petani yang sempit lahannya. Fakta diatas mengindikasikan bahwa civitas akademika IPB semakin meninggalkan sistem pertaniannya sendiri dan tercabut dari sumber ilmu pertaniannnya. Berbagai solusi palsu bermunculan salah satunya adalah menutup Program Studi Sosial Ekonomi di setiap Fakultas. Sebagai konsekwensi, Fakultas baru (Fakultas Ekonomi dan Menajeman dan Fakultas Ekologi Manusia). didirikan untuk menopang keilmuan sosial dan ekonomi pertanian. Pendirian kedua Fakultas tersebut menjadi harapan nyata untuk memasukkan pendekatan social dan ekonomi dalam pembangunan pertanian. Jauh panggang dari api, kurikulum dan pendekatan ilmu sosial dan ekonomi berbasis pertanian hanya sebagai pelengkap penderita belaka. Bahkan Dr Revrisond Bhaswir (dalam Dies Natalis FEM ke-10) menuduh Fakultas EkonomidanManajemen di Indonesia sebagai agen Neoliberal, dimana Neoliberalisme merupakan Idiologi Ekonomi Politik yang harus bertanggung jawab atas semakin miskinnya Negara berkembang. Keresahan diatas seakan tidak menjadi soal dikemudian hari, seolah kenyataan ini hanya sebuah fenomena belaka. petinggi IPB pun tidak terganggu. Buktinya anekdot “Lulusan IPB adalah ahli disemua lini kecuali Pertanian” diamini oleh Rektor IPB. Belum lekang dalam ingatan kita kala Rektor IPB berujar “Saya tidak menyalahkan jika banyak lulusan IPB yang bekerja di bidang lain selain pertanian karena memang sistem insentif belum memberi apresiasi di bidang pertanian di negeri ini” (http://id.berita.yahoo.com/wajar-lulusan-ipb-bekerja-di-luar-keilmuan-154540866.html ). Bagaimana lokomotif transformasi pertanian ini berjalan baik apabila masinisnya tidak percaya diri dengan gerbong yang ia bawa? Tidak hanya mahasiswanya yang resah, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga sudah memberikan sinyalemen kecerobohan sistem pendidikan pertanian di IPB. Muhaimin Iskandar pernah menyayangkan banyaknya alumni IPB yang menjadi pelayan setia Perusahaan. Muhaimin menyindir ketidakpekaan alumni IPB dengan berujar “Kalau bisa, alumni IPB, jangan semuanya direkrut oleh perusahaan, sebagian harus terjun dalam dunia wirausaha, menciptikakan lapangan kerja dan menjadi pemimpin perusahaan sendiri," (http://www.beritasatu.com/ekonomi/73483-kemenakertrans-minta-alumni-ipb-terjun-ke-wirausaha.html ). Dalam tracer study tahun 2006 menunjukkan hanya 35% alumni IPB bekerja di bidang pertanian dalam arti luas. Sebanyak 65 % bekerja di luar sector pertanian. Namun Direktur Kemahasiswaan IPB menganggap hasil tracer study biasa saja. (http://luthfi.blogsome.com/2008/08/01/tentang-alumni-ipb/). Padahal ini merupakan bukti nyata bahwa mahasiswa dan alumni IPB sudah tidak percaya dengan masa depan pertanian bahkan nyatanya meninggalkan pertanian. Tentu ini bukan fenomena biasa, ini adalah sebuah realitas yang harus direvolusi. Tekad yang bulat dan semangat yang berapi-api tidak akan berguna apabila falsafah dasar tidak segera dibenahi. Kebingungan akan masa depan pertanian harus dijawab dengan mulai menghadirkan petani di setiap perhelatan kampus rakyat. Revolusi Pendidikan Pertanian. Kampus harus melayani petani. Apabila demikian yang kita kehendaki maka IPB harus melakukan Revolusi Pendidikan Pertanian. Penulis meyakini ada tiga hal pokok untuk mewujudkan revolusi pendidikan pertanian yakni : 1. Sistem Pendidikan Pertanian berbasis Pengetahuan Tradisional dan ekologis. Sistem pendidikan sekarang merupakan sistem pendidikan yang men-generated akumulasi capital (kapitalisme, neoliberalisme), penyebab kerusakan lingkungan dan penghasil ketergantungan terhadap big agriculture corporate. Akibatnya hak – hak pengetahuan tradisional tidak mendapat jatah dalam diskusi-diskusi ilmiah bahkan hanya sebagai barang usang yang menjadi objek wisata. Petani – petani harus dihadirkan di kampus, diberikan haknya untuk menjelaskan pertanian yang ia kerjakan, dilibatkan dalam perumusan kebijakan pertanian (bukankah petani yang sebenarnya menjadi pelaku utama pertanian bukan Doktor atau Profesor yang menjadi ahli perumus naskah akademik), dipulihkan harga dirinya sebagai penyandang pangan dan dihargai karyanya sebagai penjaga pengetahuan tradisional. Dengan demikian IPB akan mampu menyelenggarakan kegiatan semacam ekspo sistem pertanian ekologis, bulan pangan sehat dan dan gebyar pengetahuan tradisional. IPB juga akan menjadi satu-satunya Universitas di Indonesia yang memiliki rangkuman dan penerapan pengetahuan trasisional. Kegiatan semacam ini sangat memungkinkan dilaksanakan, sebab IPB sudah terbiasa menyelenggarakan event yang lebih besar, hanya sedikit modifikasi pada narasumber, biasanya Monsanto Indonesia, Pioneer, Bisi, USAID, Ilmuan Bioteknologi Eropa dan ahli Ekonomi Amerika digantikan Petani, organisasi petani dan nelayan, masyarakat adat dan masyarakat lokal. 2. Pola pendidikan partisipatif. Pendidikan pertanian IPB yang ortodok dan konvensional harus dirombak menjadi pola pendidikan pendidikan partisipatif. Mahasiswa pertanian harus menghabiskan 75% dari umur pendidikannya di lahan petani, sisanya untuk mendebat, mendiskusikan dan mencari solusi dari praktek pertanian yang dilakukan petani. Peserta didik harus melakukan tiga dasar pendidikan pertanian partisipatif yakni live in with peasant (hidup bersama petani) yakni menginap di rumah petani, makan bersama petani dan bekerja bersama petani. Inilah pola pendidikan yang demokratis, pola pendidikan yang lahir dari anak didik, untuk anak didik dan oleh anak didik. IPB tidak boleh bekerja sendiri lagi, lahan – lahan praktek pertanian, perikanan, peternakan dan kehutanan IPB harus dikerjasamakan dengan organisasi – organisasi petani, peternak kecil, konsorsium masyarakat pinggir hutan dan nelayan. Berdasarkan pengalam penulis ketika live in bersama petani Sukabumi dan Bogor sepanjang tahun 2010 – sekarang, penulis menemukan ratusan permasalahan pertanian modern dan menemukan juga beribu solusi karya petani. 3. Pola penelitian partisipaif. Penelitian -penelitian IPB ke depan harus adil dan partisipatif serta menempatkan petani sebagai subjek dari penelitian. Para peneliti (dosen, mahasiswa, Lembaga Penelitian) di IPB harus menghentikan pemaksaan penerapan hasil penelitiannya bagi petani. Peneliti harus berhenti mengasingkan dirinya di Laboratorium dan keluar dari model – model yang menjadi kepercayaannya. Peneliti IPB harus turun ke desa – desa menguji praktek pertanian small scale farming, mengevaluasi kebijakan – kebijakan Revolusi Hijau dan dengan berani dan jujur menciptakan sendiri solusi yang tepat untuk diterapkan bersama petani. Merevitalisasi dan terus mengembangkan fungsi dan peran klinik tanaman, menggembangkan dan mendirikan pusat pupuk hayati komunal di tingkat petani, mendirikan Bank Benih IPB dan Lumbung Benih di tingkat desa, mendirikan dan mengembangkan pusat penelitian dan transformasi pedesaan, mengembangkan pusat pangan lokal dan mendirikan Pusat Usaha Mikro IPB. Penulis meyakini apabila semua ini dilaksanakan banyak sekali penelitian solutif yang bermanfaat buat rakyat Indonesia dan peran IPB sebagai solusi permasalahan pertanian, pedesaan dan urban akan terwujud. Hal ini tidaklah sulit, Guru besar Universitas berkelas dunia sudah melakukannya. Sebut saja Prof. Miguel Altieri dari Berkley University yang sukses bersama Jaringan Agroekologinya di Amerika Latin, Prof. Peter Rosset yang hidup bersama petani di Via Campesina, Prof. Patrick Mulvany sukses bersama Practical action, dan Sateesh di India yang telah sukses mengorganisir kaum kasta rendah India untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Revolusi pendidikan pertanian merupakan cita – cita yang sangat mungkin diwujudkan. Sebuah Revolusi yang melahirkan mahasiswa dan alumni IPB yang sanggup menyelesaikan permasalahan-permasalahan pertanian. Revolusi pendidikan pertanian untuk melayani petani dan turut bersama petani membuka jalan pembebasan petani. Pembebasan petani dari penjara ketergantungan input eksternal. Inilah tatanan revolusi pendidikan pertanian yang harus kita dorong bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar