Senin, 22 Juli 2013

Agroecology : Sistem Pertanian Kaum Tani untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan


Kebijakan Revolusi Hijau terbukti gagal dan menghasilkan bermacam krisis pertanian di Indonesia. Krisis pertanian tersebut berupa Erosi tanah, pencemaran ekologi akibat pestisida dan herbisida, eutrofikasi, bahkan perpindahan kepemilikan lahan dan teknologi. Semenjak Pelaksanaan Revolusi hijau (1970-an) perlahan-lahan terjadi pergeseran kepemilikan dari petani menjadi milik perusahaan bidang pertanian (agribisnis). Semula, teknologi pembenihan adalah milik petani, kini menjadi monopoli Monsnato, Syngenta, Dupon dan PT. Bisi Indonesia. Awalnya pengetahuan tradisional untuk menjaga kesuburan tanah berupa pengaturan jadwal tanam, mengikuti perkiraan cuaca, tumpang sari dan pergiliran tanaman tergerus dengan pupuk sintesis buatan petrokimia. Kini, kaum tani bergantung terhadap input eksternal seperti pupuk kimia, pestisida kimia dan benih hibrida (benih pabrik). Muara dari system pertanian ini adalah produktifitas lahan yang tinggi tanpa mengukur keberlanjutan ekologi, budaya, kelembagaan petani dan ekonomi rumah tangga petani. Menurut Prof. Miguel Altieri (2013) system pertanian dengan model industrial ini (model yang menciptakan ketergantunga petani terhadap industry pupuk, pestisida dan benih) tetap langgeng karena empat asumsi yakni 1). Energy yang melimpah ruah dan bahan bakar yang murah, 2). Iklim yang stabil dan kelimpahan air, 3). Alam dapat dikontrol dengan technology, 4). Kelaparan dapat diselesaikan dengan meningkatkan produktivitas. Hingga saat ini 80 % dari 1,5 millliar lahan pertanian ditanami dengan system pertanian konvensional dengan cara monokultur dan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap input eksternal seperti (pupuk kimia, pestisida, benih pabrik dll). System pertanian konvensional terbukti tidak memiliki daya tahan terhadap cuaca ekstrim dan perubahan iklim yang melanda dunia. Pertanian konvensional dengan cirri khas monokultur telah kehilangan daya tahan dan kehilangan mekanisme ekologis untuk bertahan terhadap serangan hama, keseragaman gen dan kerentanan terhadap perubahan cuaca. Berdasarkan Pengamatan SOCLA (sebuah organisasi ilmuan pertanian) kekeringan yang terjadi sepanjang tahun 2012 merupakan yang terburuk sepanjang 60 tahun terakhir dan telah mengakibatkan penurunan produksi Jagung hingga 18%, Kedelai 8 % dan padi 30 %. Kekeringan yang mengakibatkan gagal panen bahkan menyebabkan meroketnya harga berbagai bahan pangan 3 hinga 4 %. Ketergantungan Petani Kerentanan terhadap perubahan iklim bukan satu-satunya yang menjerat kaum tani. Ketergantungan terhadap Pupuk sebagai salah satu input pertanian memiliki ciri khas harga. Peningkatan harga pupuk selalu beriringan dengan peningkatan harga bahan bakar. Ketergantungan terhadap pupuk inimenyebabkan petani harus merogoh koceknya dalam-dalam setiap musim tanam tiba. Biaya yang tinggi terhadap pupuk sebenarnya tidak diiringi dengan kesejahteraan yang meningkat. Peningkatan penggunaan pupuk yang setiap tahun tidak diikuti dengan peningkatan jumlah panen (produktifitas lahan). Efisiensi penggunaan pupuk terutama Nitrogen menurun dari tahun ke tahun. Pada awal tahun 1960 Efisensi Nitrogen mencapai 80 % pada tahun 1990 efisiensi nitrogen hanya 20 % (Miguel Altieri). Begitu juga dengan penggunaan Pestisida dan herbisida. Penggunaan pestisida yang diyakini untuk menghindari gangguan hama supaya produktifitas meningkat tidak terbukti juga. Penggunaan pestisida bahkan mengancam kelanjutan pertanian. Prof. Peter Rosset melaporkan sejumlah mikoorganisme yang menguntungkan di dalam tanah mati akibat penggunaan pestisida, terjadinya ledakan popoulasi hama tertentu, kekebalan pada sejumlah spesies serangga terhadap pestisida dan kekebalan gulma terhadap semprotan herbisida. Serikat Petani Indonesia (2010) melaporkan bahwa kekebalan serangga/hama pengganggu tanaman menyebabkan petani semakin meninggikan dosis pestisida dan herbisida. Penggunaan dosis berlebih tersebut bukan hanya akan semakin menghancurkan ekologi akan tetapi juga semakin menghancurkan ekonomi petani. Kesimpulan sederhana dari keadaan ini adalah menambah input semacam pupuk ternyata mengurangi jumlah produktifiatas. Jadi ilusi untuk mengontrol alam tidak bekerja dan tidak benar adanya. Kelaparan Dunia Kelaparan di Dunia ini sudah menyentuh angka 1 Milliar orang. Kelaparan yang disebabkan kemisikinan bukan karena kekurangan produksi (1/3 dari populasi manusia tergolong miskin karena memiliki pendapatan kurang dari 2 $/hari, asumsinya tidak lama lagi kelaparan akan menjangkiti 1/3 dari populasi manusia di bumi). Pertanian sebenarnya sanggup menyumbang pangan 9 sampai 10 milliar orang akan tetapi semua hasil pertanian tersebut tidak digunakan untuk pangan manusia. Industrial pertanian menggunakan hasil pertanian semacam jagung (zea mays) dan kedelai sebagai bahan bakar dan makanan ternak. Industrial pertanian lebih mementingkan keuntungan dari penjualan bahan bakar nabati daripada menyelamatkan manusia dari kelaparan. Professor Lappe (1998) telah melaporkan 78 % dari anak-anak balita kurang gizi tinggal di Negara berkembang dimana terjadi surplus pangan atau swasembada pangan. Jadi, masalah ketercukupan pangan bukan hanya masalah harga, produksi dan distribusi pangan akan tetapi bagaimana setiap rumah tangga mampu menghasilkan pangannnya. Logika sederhanaya adalah bagaimana setiap rumah tangga di pedesaan di Negara berkembang akan menghasilkan pangannnya apabila lahannya dikuasai industrial pangan dan masyarakat pedesaan adalah buruh dari industrial pangan yang mengahasilkan bahan bakar bukan pangan. Solusi Bisnis (2008) melaporkan bahwa 80 % dari industrial pangan adalah untuk memenuhi pasar pangan internasional. Pasar pangan internasional akan mengikuti harga tertinggi yakni hasil pertanian sebagai bahan bakar nabati bukan pangan. Jadi, pola ekspor dan impor industrial pertanian adalah untuk memberikan bahan bakar bagi kenderaan si tuan kaya bukan memenuhi pangan internasional. Globalisasi dari bawah Tak pelak lagi, keadaan ini membuat munculnya perlawanan kaum tani terhadap ketidakadilan tumbuh subur di berbagai Negara, terutama Amerika Latin. Di awal-awal masa perlawanan kawasan ini, revolusi mempengaruhi struktur sosioekonomi di beberapa negara, termasuk di dalamnya Meksiko, Bolivia, Kuba dan Nikaragua. Perlawanan kaum tani yang banyak menjadi rekomendasi dan inspirasi kaum tani di berbagai belahan dunia adalah ANAP-Cuba dengan system agroekologinya dan MST-Brazil dengan okupasi lahannya. Jika membicarakan pembaruan agraria di Amerika Latin, maka kita harus merunut pada sepak terjang gerakan reforma agraria populis dari MST (Organisasi Petani Tak Bertanah) di Brazil. MST merupakan sebuah gerakan sosial paling fenomenal dalam sejarah Amerika Latin dan menjadi model gerakan masyarakat sipil—terutama petani di dunia. Sejak tahun 1984, sekitar 250.000 keluarga telah berjuang mewujudkan pembaruan agraria, dengan mengokupasi tanah seluas 21 juta hektar lebih. Gerakan ini berhasil mentransformasikan dirinya menjadi gerakan dari bawah ke atas yang mencerminkan masyarakat sipil (bottom-up) dan populis. Tercatat anggota MST sekarang mencapai 2.5 juta orang (dalam desa-desa atau settlement) plus jutaan lebih simpatisan (pendukung), dengan perkembangan tidak hanya mengolah tanah, tapi juga mengembangkan alternatif sosial yang lebih dari itu. Untuk itulah di Amerika Latin, MST menjadi model pembaruan agraria yang sejati—karena cakupan makna pembaruan agraria yang diusungnya tidak berhenti hanya pada kepemilikan lahan, namun terus menjadi sebuah perubahan sosial dari proses produksi, konsumsi hingga distribusi kebutuhan anggotanya. Dari hampir 2000 settlement (desa yang dibuat dari proses okupasi lahan) yang tersebar di 23 propinsi, kini MST mulai memperlebar dan membuat gerakan pembaruan agraria menjadi masif. Hebatnya lagi, gerakan ini populer dan mendapat dukungan rakyat sekitarnya. Hingga saat ini, keberadaan MST pun menjadi krusial di kancah politik, dengan perannya pada kemenangan Presiden Lula Inacio da Silva di dua kali pemilihan (2002 dan 2006). Okupasi tanah oleh MST dalam 1990-1996 Tahun Okupasi Jumlah Keluarga Luas Tanah (hektar) 1990 43 kali 11,484 --- 1991 51 kali 9,862 7,037,722 1992 49 kali 18,885 5,692,211 1993 54 kali 17,587 3,221,252 1994 52 kali 16,860 1,819,963 1995 93 kali 31,531 3,250,731 1996 176 kali 45,218 --- Total 518 kali 151,427 21,021,879* Tabel 1. Okupasi tanah dalam gerakan pembaruan agraria oleh MST dalam periode 1990-1996 Letak keberhasilan MST sebenarnya adalah pada rasionalisasi perjuangannya yang dituangkan pada pendidikan dan aksi nyata. Perjuangan MST yang utama adalah perjuangan menegakkan keadilan dalam bidang agraria, dengan melaksanakan reforma agraria sejati (vis a vis land reform Bank Dunia dengan pasar tanahnya). Reforma agraria jangan diartikan secara sempit sebagai proses redistribusi lahan saja, melainkan juga mencakup proses pra-produksi (tata guna tanah), produksi hingga pasca produksi (pasar, distribusi, industri). Pengertian secara luas inilah yang menjadi rasionalisasi MST pada khususnya, dan organisasi tani lainnya di dunia pada umumnya, terhadap perjuangan melawan neoliberalisme. Pendidikan menjadi salah satu pilar utama pembangunan rakyat, dengan banyaknya institut, sekolah dan pengelolaan yang rapi—dari tingkat settlement hingga nasional. Pendidikan juga dilaksanakan secara cepat dan masif, terutama di tingkat-tingkat basis. Faktor lain yang mendukung perkembangan organisasi rakyat seperti MST agar bisa masif dan populis antara lain adalah jaringannya dengan gereja katolik dan para pakar. Walaupun tidak terafiliasi secara langsung, dukungan kedua pihak ini semakin menegaskan bahwa gerakan reforma agraria yang diusung MST terlegitimasi dan merupakan pilihan rasional. Sebuah polling pada bulan Maret 1997 menyatakan bahwa 77 persen responden mendukung gerakan MST dan 85 persen mengesahkan gerakan okupasi tanah tanpa kekerasan yang dilakukan organisasi ini. Di bulan yang sama, deklarasi mendukung MST juga ditandatangani 200-an lebih wartawan, artis dan intelektual ternama. Agroekologi Masa depan kaum tani untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Agroekologi merupakan sebuah pendekatan pertanian yang dirancang sesuai prinsip-prinsip ekologi; metabolism alam, sistem sosial, dan budaya; serta pengetahuan lokal (Mulvany, 2010). Rosset (2010) mengemukakan agroekologi adalah pertanian yang dapat: a. Meningkatkan penggunaan dan pengembalian biomassa dan menjaga kesetimbangan perputaran unsur hara. b. Membantu memulihkan kondisi tanah yang rentan, menjaga permukaan tanah, dan menjamin sirkulasi bahan organik dan biologi tanah. c. Meminimalkan kehilangan hara dari sistem pertanian berdasarkan desain tanam dan panen hara tertutup. d. Mendorong fungsi biodiversitas di permukaan dan di dalam tanah, serta menjaga lansekap lahan. e. Mendorong peningkatan interaksi bilogi dan hubungan antara berbagai komponen yang mampu memberikan sistem pelayanan biologis seperti regenerasi kesuburan tanah dan mengendalikan hama tanpa penggunaan bahan luar semacam pestisida kimia. f. Bersimbiosis dengan pengetahuan lokal yang hidup di masyarakat yang sudah terbukti merupakan pertanian yang sehat dan berkelanjutan sepanjang masa. g. Memperaktekan langsung cara bertani yang ramah lingkngan sehingga terjadi perbaikan dan pemulihan kondisi lahan pertanian yang sudah terdegradasi. Dimplementasikan pada lahan skala kecil untuk mengintensifkan area marginal. Membangun kedaulatan petani dan pangan karena tidak tergantung pada eksternal input yang dikuasai perusahaan-perusahaan besar. Berkenaan dengan urgensinya, para pakar menyampaikan beberapa alasan mengapa agroekologi penting. Pertama, agroekologi dapat mematahkan anggapan bahwa pertanian skala besar yang sarat modal, teknologi canggih dan efektifitas manajemen lahan mampu menjawab kelaparan, kemisikinan petani, menghasilkan produk pertanian yang murah, dan mampu menyediakan ketersediaan pangan. Namu faktanya sangat berbeda. Pertanian konvensional yang sarat modal dan boros sumberdaya tersebut tidak mampu memberikan solusi kekurangan bahan pangan. Tapi sebaliknya menimbulkan permasalahan lain. De Schutter (2010) dalam Journal Peasant Studies mengemukakan hasil analisis bahwa pertanian skala besar merupakan bencana pertanian abad 21. Karena pertanian skala besar telah menyebabkan perpindahan hak penggunaan lahan dari petani ke pengusaha pertanian, baik pengusaha pertanian nasional atau trans-nasional (TNC). Hal ini telah menyebabkan petani kecil kehilangan lahan dan kesempatan untuk mencukupi pangan bagi keluarganya. Kedua, agroekologi menentang keras pola pertanian sejenis (monoculture farming). Menurut Altieri (1999b, pertanian monokultur dapat merusak biodiversitas dan menyebabkan matinya beberapa mikroorganisme yang menguntungkan tanah dan tanaman; serta menyebabkan rantai pangan suatu ekosistem terputus. Dengan demikian, hanya organism yang mampu menghasilkan pangan sendiri dan organism yang mobilitasnya tinggi yang sanggup bertahan. Selain itu, pun tanah menjadi miskin unsur hara sehingga untuk memenuhi kebtuhan tanaman harus digantikan dengan pupuk kimia. Ketiga, agroekologi menentang penggunaan teknologi yang dapat merusak sistem alam. Sebaliknya, mendukung penggunaan teknologi yang berkembang di masyarakat sesuai dengan kearifan lokal (local wisdom). Ketergantungan pertanian yang sangat tingi pada teknologi seperti saat ini sudah sangat membahayakan. Dan ini sudah mengikis pengetahuan lokal yang hidup sesuai dengan budaya bertani. China merupakan negara yang kini mendominasi penguasaan teknologi pertanian pangan utama, disusul oleh India pada urutan kedua. Pada pertemuan Traktat International Sumberdaya genetika untuk pangan dan pertanian ITPGRFA (International Treaty Plant Genetic Resources for Food and Agriculture) ke-4 di Bali Maret 2011, dibahas mengenai bahaya monopoli teknologi pertanian. Salah satu simpulan penting adalah mengenai penerapan hak kekayaan intelektual pada teknologi pertanian yang dianggap tidak relevan karena teknologi pertanian merupakan hasil evolusi dari teknologi milik para petani. Oleh karena itu, kalaupun royalti atas kekayaan intelektual teknologi pertanian akan diterapkan maka petanilah yang paling berhak atas royalti tersebut (ETC Group, 2013). Keempat, pada tahun 2008, sebuah grup yang bergerak di bidang konservasi, pembangunan keanekaragaman budaya, ekologi, dan HAM (Erosion, Technology and Concentration Group) melaporkan bahwa negara industri sudah menguasai dan mematenkan 90% dari benih sedang beredar dan diperjualbelikan. Ini artinya, rantai pangan paling vital yaitu benih sudah berada di tangan negara maju yang disokong oleh perusahaan benih multinasional. Hal ini tentunya akan menyulitkan akses terhadap pangan (ETC Group, 2013). Selain itu, ETC Group juga menyampaikan bahwa trend penguasaan perusahaan atas benih meningkat setiap tahunya. Pada tahun 1996, penguasaan pasar benih dunia oleh 10 perusahaan benih pada tahun 1996 hanya sebesar 37%, meningkat pada tahun 2004 menjadi 49%, pada tahun 2005 mencapai 51%. Pada tahun 2006, penguasaan perusahaan swasta atas belih mencapai 57%; dan pada tahun 2007 menguasai 67 % (ETC Group, 2009)Ungkapan salah seorang petinggi MST di atas sepertinya menjadi cerminan bagi garis gerakan MST untuk mempengaruhi politik Brazil. Kedekatan mereka dengan Partai Buruh (PT, pimpinan Presiden terpilih sekarang, Lula Inacio da Silva) ternyata tidak melemahkan posisi mereka sebagai organisasi rakyat. Seperti yang kita ketahui, MST yang konstituennya merupakan petani tak bertanah tetap konsisten dalam garis organisasi untuk menyejahterakan anggotanya. Hal ini juga tercermin dari pemerintahan sebelum Lula, yakni Presiden Sarney dan Cardoso. Janji-janji reforma agraria yang diberikan kedua presiden ternyata tidak nyata sampai ke rakyat. MST dalam kasus ini terus mengkritisi program reforma agraria yang dilakukan pemerintah, sambil terus melakukan aksi-aksi okupasi dan reklaiming tanah bersama anggotanya. Penguasaan benih oleh perusahaan-perusahaan, selain mempersulit akses petani terhadap benih juga telah menyebabkan menurunnya keanekaragaman hayati berupa benih lokal yang hidup di masyarakat akibat berpalingnya petani dari benih lokal ke benih pemuliaan perusahaan. Kemampuan petani dalam memuliakan benih pun semakin menurun. Hal ini merupakan bencana karena petani kehilangan budaya bertani dan kreativitasnya. Pusat-pusat penangkaran benih yang dibuat oleh pemerintah sebagai respon atas kelangkaan benih lokal tersebut malah menjadi senjata baru untuk menguasai teknologi benih pertanian. Petani yang menangkar benih, dibeli oleh perusahaan atau lembaga pembenihan, tapi petani tidak dapat menggunakan atau mengedarkan benih tersebut sekalipun hanya untuk kalangan internal. Kriminalisasi petani yang menggunakan benih hasil penangkaran sendiri telah kerap terjadi. Lagi-lagi ini merupakan politik ekonomi perusahaan dan lembaga pemerintah yang ingin melakukan monopoli peredaran benih (Pramono, 2010). Kelima, agroekologi “mengharamkan” penggunaan pupuk kimia dan pestisida. Pengharaman ini dikarenakan pertanian konvensional yang sangat tergantung pada input pertanian tersebut telah menimbulkan persoalan lingkungan dan kesehatan yang luar biasa. Gliesmann (2007) yang melakukan penelitian di Guatemala, Honduras, dan Nicaragua bersama Pesticide Action Network North America (PANNA) menyebutkan beberapa dampak negatif dari sistem pertanian konvensional sebagai berikut: a. Dapat menyebabkan penurunan kesuburan tanah, tertahannya humus tanah, berkurangnya kelembaban tanah, rusaknya vegetasi yang ada di lingkungan, erosi; pencemaran lingkungan berupa kandungan bahan berbahaya di lingkungan dan makanan. b. Ketergantungan petani pada input-input eksternal yang dapat meningkatkan biaya produksi yang berakibat pada kerugian ekonomi c. Penggunaan air berlebihan dan kerusakan sistem hidrologi. d. Kehilangan diversitas genetika dan varietas tanaman pangan lokal. e. Peningkatan kesenjangan global antara negara-negara industri dan negara-negara berkembang. Prasyarat Agrokeologi Agroekologi sejatinya merupakan praktek pertanian yang telah dilakukan oleh nenek moyang petani kita. Agroekologi merupakan budaya bertani yang telah lama hidup di masyarakat. Namun, karena perubahan zaman, kini agroekologi telah lama ditinggalkan. Proses mengembalikan agroekologi sangat mungkin. Namun, diperlukan prasyarat sebagai berikut (Pramono, 2010): 1. Reforma Agraria. Reforma agraria merupakan prasyarat pelaksanaan agroekologi. Agroekologi tak mungkin dilaksanakan secara masif tanpa diawali dengan reforma agraria. Hal ini dikarenakan petani hanya menguasai sedikit lahan, bahkan banyak petani yang tidak memiliki lahan. Sehingga petani mengalami kesulitan untuk bereksperimen. Namun, reforma agraria masih menghadapi jalan terjal. Usaha petani mendapatkan penguasaan lahan milik pemerintah untuk keperluan kegiatan bertani sangat tidak mulus, bahkan harus ditebus dengan darah perjuangan. Itulah setidaknya yang doiperlihatkan oleh para petani di Sumatera Utara, Jambi atau Wonosobo (Pramono, 2010). 2. Pendidikan dari petani ke Petani. Menurut Rosset (2010a), salah satu kegagalan pendidikan petani di beberapa negara dikarenakan kesalahan proses pendidikan. Petugas lapang yang diangggap memiliki ilmu bertani sejatinya bukan petani sehingga interaksi mereka dengan petani sangat rendah. Tidak terjaling kepercayaan karena tidak ada sambung rasa. Oleh karena itu, Rosset menyampaikan konsep pendidiakn dari petani ke petani. Yang dimaksud adalah petani yang telah mendapatkan pencerahan, atau mendapatkan ilmu bertani dan telah bereksperimen dengan ilmunya didirong untuk menyampaikan atau mengajarkannya kepada petani yang lain. Bahkan, mengajak petani lain untuk bersama-sama melakukan eksperimen. Proses ini akan efektif karena di antara sesama petani sudah terjalin komunikasi yang baik dan terbuntuk tali sambung rasa sehingga tingkat kepercayaan di antara mereka sudah tinggi. Prinsip agroekologi adalah bertani merupakan budaya, karena itu pengetahuan brersifat terbuka sebagaimana telkah dicontohkan oleh para nenk moyang pretani masa silam. 3. Agroekologi mempersyaratkan adanya riset partisifatif. Artinya, penelitian tentang tata cara bertani mulai dari penyiapan bibit, penyiapan lahan, pupuk, pestisida alami, kombinasi tanaman dan lain-lain harus dilakukan bersama petani. Petani harus menjadi aktor utama dalam penelitian tersebut. Jika melibatkan para ilmuan dari lembaga penelitian atau universitas harus diperankean sebagai fasilitaor atau meneyiapkan methodology agar riset dapat terlaksana dengan baik. Penelitian partisipatif ini penting karena akan fokus pada permasalahan pertanian yang dihadapi petani, sehingga petani sendiri yang akan menemukan solusi atas permasalahan yang dihadapinya. Pelaksanaan agroiekologi membutuhkan adanya kebijakan pendukung. Selain kebijakan dasar seperti UUD 1945 Pasal 33 dan Undang – Undang Pokok Agraria, perlu juga dipikirkan adanya kebijakan yang mendukung kemandarian dan perlindungan petani. Agroekologi mensyaratkan zero eksternal input. Karena itu petani agroekologi harus menyiapkan input alternatif yang disiapkan sendiri oleh petani, termasuk benih, pupuk dan pengendali hama alami. Pendidikan ke arah sana mutlak diperlukan. 4. Pasar yang adil. Salah satu kelemahan petani adalah tidak berkuasanya petani dalam menentukan harga atas barang yang diproduksinya. Petani dipaksa untuk mengikuti mekanisme pasar yang sangat tidak simetris. Seharusnya, harga komoditas pertanian ditetapkan berdasarkan modal usaha pertanian bukan mengikuti selera pasar. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan kebijakan perlindungan atas komoditas pertanian dalam negeri. Perlindungan in penting untuk menjaga keberlanjutan pertanian lokal dan membangkitkan ekonomi riil. 5. Penguatan kelembagaan. Penguatan kelembagaan petani merupakan prasyarat penting. Hal ini mengingat posisi tawar petani sangat rendah. Petani harus belajar berorganisasi. Jika organisasi petani kuat, maka arus informasi di kalangan petani akan berjalan cepat. Selain itu, petani pun akan memiliki standing yang kuat pada saat berhadapan dengan pihak lain, baik pemerintah, swasta maupun kekuatan lainnya. Mereka bermitra dengan siapapun dengan menggunakan organisasi taninya. Untuk itu, pemerintah hars mendorong dan memfasilitasi dalam pembentukan organisasi petani yang kuat. 6. Solidaritas. Para petani harus didorong memiliki solidaritas tinggi di antara para petani. Jiwa korsa petani harus hidup. Oleh karena itu, petani harus memiliki aturan main di antara mereka untuk membentuk jiwa korsa tersebut. Pertemuan antara organisasi petani harus rutin dilakukan pada setiap tingkatan. Dan, mereka harus memiliki, mengetahui dan menyadari korpsnya sebagai petani. Metodologi Riset agroekologi Prinsip-prinsip pertanian yang ada harus segera dihitung dan diuji. Prinsip-prinsip pertanian yang diinginkan sebagai jawaban adalah pertanian yang memiliki model baru berupa pertanian yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, tahan terhadap perubahan cuaca dan adaptipf terhadap perubahan iklim dan efesien terhadap penggunaan sumberdaya alam. Metodologi yang dikembangkan dalam agroekologi adalah Assessing the performance of agroecological project. Guideline pertanyaannya berupa : 1. Konservasi tanah (menggunakan no atau minimum tillage) 2. Bagaimana penerapan produksi intensifikasi yang berkelanjutan? 3. Apakah benih yang digunakan merupakan benih lokal, tangkaran sendiri, benih pabrik atau benih transgenic? 4. Pendekatan apa yang dilakukan dalam bertani, apakah pertanian organic, agroekologi dan pertanian konvensional? 5. Bagaiamana teknologi yang digunakan, apakah teknologi petani, teknologi di luar petani? 6. Apakah teknologi dari luar petani tersebut dapat diadopsi oleh petani? 7. Bagaimana metodologi pendidikan yang dilakukan oleh petani, apakah farmer led, campesino a campesino, market driven, top down) 8. Perluasan lahan, apakah lahan yang digarap sekarang merupakan lahan monokultur atau meruapakn lahan yang agroekologis? Mapping Praktek Agroekologi (Mengembangkan instrumen evaluasi pertanian) : a. Adakah pertanian yang memiliki konsep dan prinsip agroekologi? b. Adakah pertanian yang memiliki system agroekologi? Berapa luas lahannya? Berapa anggotanya? c. Keuntungan agroekologi d. Bagaimanan menerapakan : sosialisasi dan replica e. Evaluasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar